Lontar.id – Lewat surat edaran, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah berpesan bahwa pengusaha dapat menunda pembayaran THR Keagamaan.
Perusahaan yang tidak mampu membayar THR Keagamaan pada waktu yang ditentukan, dapat berdialog dengan pekerja atau buruh. Selain itu, mesti dilandasi dengan laporan keuangan internal perusahaan yang transparan, dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan.
Jika perusahaan tidak sanggup membayar THR penuh pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap bila disepakati.
“Kesepakatan akan mencakup waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR Keagamaan,” tulis Ida.
Kesepakatan itu juga wajib dilaporkan oleh perusahaan kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang ketenagakerjaan setempat.
Menanggapinya, Wakil Ketua Umum DPN Asosiasi Pengusaha Indonesia, Shinta Kamdani mengaku arah keputusan itu mendorong manajemen perusahaan dan pekerja untuk berdialog membahas THR.
“Jika terdapat kesepakatan dan tertulis maka mengikat pihak-pihak dengan kuat dan hasil kesepakatan tertulis itu dilaporkan ke Kemenaker,” kata Shinta dikutip CNBC Indonesia.
“Kalau tidak ada kesepakatan, maka urusan ke PHI (Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial), artinya SE itu akan kalah dengan PP (Peraturan Pemerintah) dan UU (Undang-Undang). Tapi jika pihak-pihak bersepakat, maka dokumen kesepakatan itu derajatnya lebih tinggi,” lanjutnya.
Sudah lama imbauan ini dinantikan kalangan pengusaha agar ada kejelasan. Alasannya, kedua belah pihak antara pengusaha dan buruh juga memerlukan waktu, sehingga surat dari Ida itu setidaknya bisa menjadi dasar hukum.
“Selama ini memang perusahaan sudah melakukan upaya untuk kesepakatan secara bilateral, namun ada saja yang menemui kendala karena pekerja mungkin sulit menerima. Nah ini yang perlu difasilitasi oleh Kemenaker. Harapan kami dengan surat imbauan ini, pekerja bisa terdorong untuk mengerti situasi perusahaannya dan mencari titik temu.”
Sementara Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menolak surat Ida, karena dianggap bertentangan dengan PP No 78 Tahun 2015.
Said malah meminta pemerintah untuk mencabut surat itu agar THR harus dibayar 100 persen kepada buruh yang masuk kerja, diliburkan, dirumahkan, dan yang diputus kerjanya dalam rentang waktu H-30 dari lebaran karena adanya dampak Covid-19.
“Jadi isi dari surat edaran Menaker tersebut harus ditolak, dan pengusaha tetap diwajibkan membayar 100 persen. Tidak membuka ruang untuk dibayar dengan cara dicicil, ditunda, dan dibayar di bawah 100 persen,” kata Said.
“Lebaran adalah waktu yang sangat penting dan penuh kebahagiaan yang dirayakan masyarakat Indonesia termasuk buruh. Jadi sungguh ironis jika THR dicicil atau ditunda, atau nilainya di bawah 100 persen.”
Makanya KSPI akan mengambil langkah tegas dengan menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena bertentangan dengan PP No. 78 Tahun 2015. KSPI juga membuka pengaduan buruh melalui Posko THR dan Darurat PHK di 30 Provinsi di Indonesia.