Lontar.id – Program tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang diresmikan Jokowi tidak berjalan mulus pengaplikasiannya. Hal itu ditolak kalangan pengusaha.
Tapera dianggap menambah beban perusahaan. “Apindo sudah menolak, setahu saya serikat pekerja juga menolak, tapi ini ada masa tujuh tahun paling lambat harus daftar,” terang Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Harijanto, dikutip dari CNNIndonesia, Rabu (3/6).
Mengutip PP terkait, pengusaha dan pekerja patungan membayarkan iuran program Tapera masing-masing 0,5 persen dan 2,5 persen.
Tapera juga dianggap tidak tepat diberlakukan, meski jangka waktu keikutsertaan pekerja swasta sampai tujuh tahun ke depan atau paling lambat 2027 mendatang.
Tapera tumpang tindih dengan program kepesertaan lain. Misal, iuran kepesertaan BP Jamsostek. Tak dilihat pula urgensi yang mendasar dari kebijakan ini.
Soal menabung untuk perumahan pekerja, sejatinya bisa dilakukan dengan cara lain. “Kami belum bahas bagaimananya, tapi sebetulnya dana untuk perumahan karyawan itu sudah bisa diakomodir oleh BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Kami juga tidak tahu pemerintah untuk apa bentuk itu,” jelasnya.
Kebijakan ini dianggap hanya akan membuat negara ‘membuang-buang’ uang karena biaya pembentukan badan biasanya tidak sedikit. “Karena biaya pengelolaan akan mahal, harus ada direksi, pengawas, pegawai, dan lainnya,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrialm Antonius J. Supit juga menilai Tapera tidak tepat.
ALasannya, kondisi ekonomi sedang tertekan akibat pandemi. “Pengusaha ini ibarat mendaki gunung, sudah berat, belum tentu semua bisa. Seharusnya, beban kami dikurangi, bukan malah ditambah,” tutur Anton.
Masuk akal jika mengingat waktu penerapan program yang dilakukan tahun ini dan implementasinya secara bertahap dimulai tahun depan.
Saat ini, para pengusaha masih terus berupaya agar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terjadi, meski operasional tak berjalan. Tujuannya, agar tidak semakin banyak pekerja yang kesusahan di era pandemi.
“Dalam kondisi saat ini, di mana ekonomi drop (jatuh) cukup besar, kebijakan ini kontra produktif. Saat ini pun kami berusaha agar jangan ada yang PHK, kalau ada, itu setelah recovery (pemulihan) pasti kami rekrut lagi,” ucapnya.
Dari sisi iuran, pengusaha sejatinya juga memiliki tanggung jawab yang lain. Misal iuran peserta BPJS Kesehatan sekitar 4 persen dari tarif per bulan. Tanggungan iuran kepesertaan BP Jamsostek, seperti untuk program Jaminan Hari Tua (JHT) sekitar 3,7 persen dari tarif kepesertaan. Kemudian, 2 persen dari tarif untuk program jaminan pensiun.
“Dari kewajiban BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan saja, total yang harus kami bayar sekitar 10,24 persen sampai 11,74 persen dari total gaji yang kami bayar,” ungkapnya.
Dalam catatan Anton, rata-rata beban iuran kepesertaan pengusaha untuk BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek berkisar Rp6,7 miliar per bulan. Bahkan, ada salah satu grup usaha dengan pekerja mencapai 110 ribu orang menanggung beban iuran mencapai Rp60 miliar per bulan.
“Ada yang bayar sebulan Rp60 miliar per bulan, itu jadi setahun Rp720 miliar sendiri,” jelasnya.
Tak heran bila banyak pengusaha yang justru meminta pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan tunda bayar iuran BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek. Sebab biayanya cukup besar.
“Semua mungkin tahu apa yang paling baik, tapi yang kami lakukan semestinya adalah yang terbaik untuk saat ini. Jadi kurang bijaksana menambah kewajiban pengusaha sekarang ini ketika kami malah minta iuran BPJS ditangguhkan,” tuturnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan iuran Tapera. Rencananya, kebijakan ini akan diimplementasikan secara bertahap mulai 2021.