Jakarta, Lontar.id – Tersisa dua pekan lebih Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Legislatif akan terlaksana. Hasil Pemilu ini akan menentukan apakah Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana akan kembali memimpin Indonesia, ataukah sang penantang Prabowo Subianto yang akan melanjutkan.
Petahana memang selalu lebih menarik untuk dibahas. Karena dibanding penantang oposisi yang belum diuji jabatan presiden, kandidat petahana sudah lebih dulu memberikan gambaran awal bagaimana hasil kepemimpinannya selama 5 tahun ini.
Hasil kinerja petahana inilah yang kerap kali menjadi bahan perdebatan. Ada klaim keberhasilan dari kubu petahana, dan ada kritik kegagalan dari kubu penantang petahana.
Bahkan di Media sosial hampir tak pernah sepi membahas soal capres-cawapres. Riuh pendukung yang menyerang dan diserang, sudut-menyudutkan, membuat beberapa orang lebih senang menyimaknya sambil makan kacang goreng.
Karena kacang goreng itu nikmat dan terjangkau. Kacang enak dikonsumsi saat ada momentum. Piala dunia salah satunya. Tapi, selepas momentum, keseringan makan kacang goreng akan membosankan. Sama dengan tim sukses. Mereka nyaman dikerahkan saat momentum pilpres.
Takkkan indah pesta tanpa keramaian. Begitupun dengan pesta demokrasi. Keindahannya diwarnai oleh para tim sukses. Baik yang berbayar maupun belum dibayar. Semuanya akan berlalu dan membosankan usai pesta itu berlalu.
Tapi saya tidak akan membahas soal para tim sukses. Tetapi soal tanda-tanda untuk petahana yang menurut saya bisa jadi kenyataan. Yah, namanya tanda bisa saja diasumsikan sebagai sebuah prediksi, atau opini seperti apa yang saya tulis ini. Sebuah tanda kemenangan, kekalahan, ataukah tanda 1 periode saja atau 1 periode lagi. Ikuti saja alur tulisan ini, karena di akhirnya akan akan jelas apa tanda itu.
Yang pertama adalah survei popularitas dan elektabiltas yang mayoritas mengunggulkan Jokowi sebagai petahana. Tapi, gejolak yang berbeda justru terjadi di media sosial. Mayoritas voting yang dilakukan dominan dikuasai Prabowo sebagai kandidat penantang.
Analisis hitungan terakhir saya ambil contoh kecil saja dari data drone empirit milik Ismail Fahmi. Ini hanya satu bagian dari tweet analis media sosial, bang Ismail Fahmi. Selebihnya anda-anda sendiri yang bebas mengecek, menilai dan berandai-andai. Kan namanya juga demokrasi.
Percakapan selama dua jam (20.00-22.00) pertama debat ke-4, Sabtu (30/3/2019) malam, mention Prabowo lebih unggul ketimbang Jokowi. Prabowo 57 persen, sedangkan Jokowi 43 persen.
Kedua, dominan di hasil survei ternyata tak menjamin keterpilihan. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang merupakan induk demokrasi sudah membuktikan itu. Siapa yang tidak kenal dengan Hillary Clinton.
Popularitas dan elektabilitas istri mantan Presiden AS Bill Clinton itu tak pernah kalah di mayoritas lembaga survei saat Pilpres Amerika 2016 lalu. Sedangkan saingannya, Donald Trump, selain kontroversial, Trump juga kerap dinarasikan sebagai figur yang emosional.
Dan hasil akhirnya, Trump ternyata mampu menang atas Hillary. Memang pilpres AS tak bisa dibandingkan apalagi disamakan dengan Indonesia. Selain seperti kata pengamat, secara geograpis, sosial, budaya, dan cara berpikir warganya berbeda.
Masyarakat kita di Indonesia masih mudah tergugah dengan gebrakan pencitraan. Cara kesederhanaan, pendekatan merakyat sedikit-banyaknya pernah mengantarkan Jokowi terpilih saat Pilpres 2014 lalu.
Seperti potongan lirik lagu dari penyanyi Prisa: “Tapi kini berbeda.” Yah, sangat berbeda. Pencitraan di Pilpres 2019 tak lagi memantik simpati besar seperti dulu. Bukti paling sederhana jika anda adalah pembaca berita online maupun di medsos, silakan melihatnya sendiri di kolom komentar.
Setiap berita pencitraan itu ada, maka kolom komentar akan lebih banyak didominasi dengan nada negatif. Positif tetap ada, tapi tak lagi ‘menyihir’ seperti dulu.
Dan yang ketiga atau terakhir adalah: banyak kegiatan dan rencana internal petahana yang sering bocor ke mana-mana. Saya pernah mengikuti langsung proses demokrasi pada salah satu kabupaten. 2015 lalu tepatnya. Kala itu, ada dua kandidat yang satu putra kepala daerah dua periode, dan satunya adalah mantan penantang kepala daerah sebelumnya.
Titik jenuh masyarakat dapat terbaca dari solidaritas tim yang dibentuk. Putra eks kepala daerah ini punya kekuatan tim sukses dan massa yang besar. Setiap kampanye ataupun hadir ke berbagai acara, namanya selalu dielu-elukan dan diteriakkan. Tapi, kejadian aneh sering juga terjadi. Setiap dia mengacungkan jari sebagai simbol nomor urutnya, beberapa warga juga akan mengacungkan jari dengan simbol berlainan.
Belum lagi setiap agenda dan rencana yang dikeluarkan oleh putra kepala daerah ini selalu bocor ke kandidat lawannya. Kejadian itu terus berlangsung hingga puncak pemilihan. Dan hasilnya, dukungan sumber daya, massa, dan pengaruh, ternyata tak mampu mengimbangi titik jenuh masyarakat.
Sang putra kepala daerah itu kalah, memang tidak telak, tetapi kejadian-kejadian yang sering terjadi di internalnya sendiri sudah menjadi penanda kekalahan itu. Dia terlambat menyadari dengan merubah pola pendekatan dan sosialisasi. Mungkin hasil pilkada ini tak bisa dibandingkan dengan pilpres 2019.
Sangat jauh. Tetapi sebuah tanda-tanda yang muncul sudah seharusnya bisa segera dibaca oleh seorang kandidat. Termasuk pak Jokowi sebagai seorang petahana. Karena tanda yang datang itu bisa bermacam-macam. Bisa juga berwujud dan tidak berwujud. Termasuk janji masa lalu yang sewaktu-waktu akan datang mengunjungi.
Karena sistem demokrasi memberikan ruang bagi siapa saja untuk berekspresi dan memberikan penilaian, maka izinkan saya juga menutup tulisan ‘tanda’ ini.