Dua poros makin kuat. Baik 01 dan 02, semuanya punya pendukung fanatik. Namun yang tidak suka keduanya, kenapa tidak menciptakan gelombang?
Jakarta, Lontar.id — Perpolitikan kita benar-benar membingungkan. Berpihak adalah kesalahan, tidak berpihak sama sekali juga dienyahkan.
Setelah menyelam dalam nuansa gamang antara pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, Nurhadi-Aldo hadir dengan keunikannya.
Ia memecah pikiran kita yang terlalu disumpeki dengan politik, taktik, bersama nilai harga dan perdagangan yang labil. Bisa jadi, ketika mengurusnya, kita kesusu mendendam dengan keduanya.
Benci memang tidak baik. Takkan pernah baik. Nalar sehat bisa hilang. Pintu maaf apalagi. Sebab begitulah kerja dari propagandis: sengaja menciptakan perang yang abadi.
Kalau bahasa meme di Twitter, Tuhan menciptakan dua tangan untuk baku hantam atau ributlah, aku tak suka kalian akur. Meme itu terdengar lucu.
Entah mengapa kita belum belajar dari tahun ke tahun kalau mereka mencari cara untuk memecah belah kita. Sudah terbukti bukan, bagaimana keluarga dan lingkaran teman baku maki karena beda pilihan saat pencoblosan?
Terciptanya poros baru yaitu poros golput seperti dinista oleh kedua kubu. Alasan klasiknya, tak baik golput, jika ada pilihan yang lebih baik dari yang baik.
Bisa juga dibalik menjadi, jika tidak ada yang baik, setidaknya ada yang jahat saja, tidak sangat jahat. Kedua kubu sama-sama mendaku begitu.
Paling menjengkelkan, ketika akun Nurhadi-Aldo (Dildo) disebutkan simbol golput, maka orang-orang di lingkaran istana langsung menebitkan titah untuk menjauhi Dildo.
Padahal, akun Dildo adalah akun lucu-lucuan dan antitesa ketegangan dua poros dalam menyikapi isu. Mengapa hiburan kami dilarang? Haruskah kami mengikuti cara dua kubu dengan saling serang?
Baca juga: Menertawai Ulin Yusron, Otoriternya Jokowi, dan Nurhadi-Aldo
Memang, kalau menjalani politik elektoral, dua kubu pasti akan dirugikan dengan gelombang golput. Apalagi jika skalanya besar. Takarlah minimal 30 persen.
Jumlah itu, tidak seluruhnya dari petahana kok. Ada juga dari swing voters atau suara mengambang yang bingung dengan tingkah laku oposan dan petahana makanya memutuskan memilih untuk tidak memilih.
Bisa juga dari kubu oposan yang tahu borok dan busuk dari permainan isu dan jawaban debat yang dimunculkan kubu oposan. Namun, orang-orangnya untung saja tidak begitu bergairah melarang-larang, sepenglihatan saya.
Lantas bagaimana cara keluar dari stigmasisasi kalau golput takkan menghasilkan apa-apa? Di bawah ini, barangkali bisa menjelaskan secara gamblang, yang bisa Anda baca pelan-pelan.
Golput adalah gerakan terhadap kemuakan pada janji-janji petahana dan ketakutan dari kumpulan oposan. Bagaimana tidak, oposan dirasa mengerikan jika memimpin, sedangkan petahana tidak lebih baik dari oposan.
Anda bisa lihat bagaimana isu sentral dan kurang koordinatifnya antara Presiden dan menteri-menterinya. Satu contoh, keputusan membebaskan ABB akhirnya ditinjau ulang, paling mentok, dianulir.
Sementara oposan, masih berpegang teguh soal korupsi yang ia langgengkan lewat partainya. Ia mengakui blak-blakan soal itu dengan tertawa-tawa dan rileks. Ehe ehe ehe.
Baca juga: Gantung Diri: Dosa Jokowi dan Jualan Prabowo
Tanpa harus bentrok dengan keduanya, para golput-ers saat hari pemilihan, bisa memilih untuk tidur saja di rumah. Kedua, merusak kertas suara dengan mencoblos logo KPU atau yang lainnya. Minimal suara batal.
Kedua cara itu ampuh untuk meninggalkan asumsi-asumsi bau dari kedua kubu di dunia maya. Itupun jika Anda tidak mau melawan dan membuang-buang waktu meladeni idenya.
Namun jika ingin unjuk gigi, Anda bisa menuliskan ide dan tafsir undang-undang yang melanggengkan golput dan menyuapi orang-orang menyebalkan dari kedua kubu yang menghina golput.
Kedua, Anda bisa bergabung dan berkampanye dengan aktivis dan seleb di medsos. Mungkin, itu bisa membuat golput punya nilai lebih, dan membuktikan kalau gerakan Anda berbahaya.
Soal berbahaya, Makassar mengingatkan saya bagaimana suara dari poros kotak kosong begitu dahsyat. Ia mengalahkan raksasa yang dibekingi korporat besar dari Sulawesi Selatan.
Soal gerakan politik, harus diakui, kalau kekuatan suara kotak kosong itu dimobilisasi. Buktinya ada banyak. Wali Kota Makassar yang menjabat sekarang memang diuntungkan. Dan sekutunya melempar narasi: ini kemenangan rakyat. Hitungannya begitu.
Namun, jika Anda mau ciptakan perlawan kepada dua kubu, ya ikuti beberapa cara yang tadi. Mau tidak mau, memilih atau tidak memilih, adalah gerakan politik itu sendiri. Selamat berpikir, semoga bermanfaat. Salam dari jauh.