Lontar.id – Virus Corona jenis berbeda dengan yang ada di Wuhan, Tiongkok, juga ditemukan pada kelelawar di Indonesia. Bedanya, virus yang ditemukan di China atau Tiongkok adalah virus Corona baru atau Novel Coronavirus (2019-nCoV).
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Sulselbar, Drh Agung Pj Wahyuda, menjelaskan, virus Corona secara alami dapat ditemukan pada kelelawar, namun virus itu tidak menimbulkan penyakit bagi dirinya.
Penamaan Corona pada virus tersebut disebabkan oleh bentuknyabyang menyerupai mahkota atau crown. Mahkota itulah yang nantinya menginfeksi sel dengan menempel. Virus corona yang ada di kelelawar kata dia tidak bersifat zoonosis atau tidak bisa menginfeksi manusia.
Selain terdapat pada kelelawar, virus Corona juga ada pada hewan lain, seperti kucing dan anjing, namun dengan tipe berbeda. Misalnya tipe FIVP dan FCoV pada kucing dan CCOV pada anjing.
Bahkan, menurutnya virus Corona juga terdapat pada manusia, tapi bukan tipe 2019 NcoV.
“Makanya orang kan sering bingung ada Corona di mana-mana. Padahal Corona itu umum karena dia cuma bentukan virus yang menyerupai corona atau crown,” ucap Dosen Luar Biasa Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini.
Meski demikian, ada juga virus Corona yang bersifat zoonosis dan menular dari binatang ke manusia, seperti HCoV-229E, HCoV-OC43, dan SARS.
“Corona yang di Wuhan itu disebut 2019-nCoV atau Novel Coronavirus. Kalau Corona yang lain bisa saja ada. Beberapa virus di kelelawar ada yang Corona tapi sekali lagi itu bukan 2019 NcoV. Di Indonesia itu tidak ada. Beda karena dia bukan 2019 NcoV,” tegasnya.
Penyebaran virus 2019-nCoV di Wuhan, kata Agung, bisa jadi dipengaruhi oleh mutasi gen dari virus itu sendiri. Pasalnya, baru sekarang virus yang berasal dari kelelawar itu menyerang manusia.
Sebelum virus ini mewabah di Wuhan, sudah ada jenis virus lain yang menyerang sistem pernapasan manusia, dan mengakibatkan orang meninggal dunia. Sementara virus 2019-nCoV baru muncul di akhir tahun 2019 lalu.
“Kalau kita lihat sejarahnya, di tahun 2003 ada SARS. Kemudian itu berkembang lagi menjadi MERS CoV di Timur Tengah atau disebut juga flu onta. Sama juga coronavirus. Berkembanglah virus ini akhirnya,” katanya.
Agung juga menjelaskan bahwa kontak langsung dengan hewan jadi salah satu faktor penyebab penularan virus. Perubahan lingkungan, kata Agung, cukup berpengaruh dalam menggusur habitat hewan, yang secara tidak langsung akan mengubah cara hidup dan tempat tinggal hewan.
Selanjutnya, kebiasaan masyarakat di Tiongkok yang memiliki kegemaran mengonsumsi makanan ekstrem dari hewan-hewan liar, diduga kuat menjadi penyebab menularnya virus, sebab melakukan kontak langsung dengan hewan mamalia tersebut.
“Mereka beradaptasi dengan lingkungan. Akhirnya bermutasilah karena cara makan dan hidup manusia di Cina sehingga besar dugaanya kalau dlihat dari berapa laporan-laporan, salah satunya karena cara makan mereka, yang harusnya bukan untuk dimakan,” urainya.
Padahal kebiasaan mengonsumsi kelelawar juga terjadi di Sulawesi Utara. Di sana kelelawar hitam atau paniki menjadi salah satu kuliner yang banyak digemari.
Agung mengaku pernah melakukan sosialisasi di sana untuk mengajak masyarakat mengurangi konsumsi hewan liar. Bukan kelelawarnya saja, tapi juga buah sisa dari kelelawar itu sebaiknya tidak dikonsumsi, untuk mengindari penularan virus dari kelelawar ke manusia.
“Itu disarankan untuk tidak dikonsumsi. Nah ini beberapa daerah suka. Itu juga kita imbau,” ujarnya.