Jakarta, Lontar.id – Di tengah wabah Covid-19 atau corona, bisnis perhotelan dan pariwisata berguguran. Ada juga yang melambat pemasukannya. Alur transportasi jarak jauh dan akses ke tempat wisata ditutup.
Beredar pula kabar bohong tentang ramainya hotel-hotel di Bali yang mesti tutup dan harus dijual. Ini sudah disanggah banyak pihak.
Walau begitu, bukan berarti di Indonesia tidak ada hotel yang dijual. Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani mengakui kalau fenomenanya ada.
Alasannya, beberapa pengusaha saat ini perlu mendapat uang tunai karena kesulitan cashflow. “Kalau yang jual memang sekarang ada, cuma nggak jual terbuka seperti di e-commerce, karena masalah cashflow corona ini. Nyari lawan pembeli saat ini memang tak mudah,” ujar Hariyadi dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (29/4).
Hariyadi memang membantah adanya informasi soal jual-beli hotel bak kacang goreng di platform e-commerce. Contohnya seperti di Jakarta Selatan, beberapa hotel berbintang dijual pelapak dengan harga Rp750-950 miliar.
Masalahnya, Hariyadi dapat pengalaman tak mengenakkan dengan penjualan terbuka seperti itu. Pernrnah, hotel miliknya tiba-tiba terpampang dalam situs jual beli online. Ia kaget.
“Saya nggak yakin, sering orang ngawur, soalnya ada beberapa kejadian, kurang ajar, properti saya dijual, nggak bisa dikontak orangnya,” katanya.
Intinya, penjualan hotel biasanya dilakukan sesama antarpengusaha, tak dijual terbuka ke umum. “Siapa yang punya duit segitu, kayak makalaran aja, biasanya kita transaksi sama yang kenal,” katanya.
Ucapan Hariyadi juga diamini Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk, Stefanus Ridwan. Selama pandemi, dirinya sering ditawari tanah dan hotel untuk dijual oleh sesama rekan bisnisnya.
Namun, ia menolaknya karena saat ini bukan prioritas untuk investasi. Ketidakpastian situasi membuat pengusaha ragu menggelontorkan dana besar untuk pembelian lahan atau aset properti lainnya.
“Udah pasti turun dan yang beli juga nggak ada. Hotel ratusan yang ditawarin ke saya,” ungkapnya.
Sementara dilansir Tirto, di Yogyakarta ada puluhan hotel yang sementara harus menghentikan operasional. Ketua Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) Yogyakarta, Herryadi Bain menyebut sekisar 38 hotel menghentikan operasional.
“Okupansi berkisar 0-3 persen,” kata Bain, 15 April lalu dikutip Tirto.
“Hotel-hotel yang tidak tutup, tetap menjual kamar secara online, kemudian juga menjual food delivery. Kemudian juga membuat paket menginap satu sampai dua pekan, hingga satu bulan.”
Layanan pesan-antar makanan tak bisa menghasilkan banyak pendapatan. Hal itu dilakukan agar hotel tetap beroperasi.
Menurut Bain, rata-rata per hari, pesan-antar menghasilkan sejuta rupiah. Saingan banyak, seperti warung, restoran, dan kafe.
Selain pesan-antar dan jualan kamar untuk isolasi mandiri serta promo, ada juga menjual jasa yang unik. Seperti Grand Tjokro Hotel Yogyakarta. Ia menyediakan layanan perawatan air conditioner (AC) hingga jasa penatu atau laundry.
“Kita lebih jual servis, jual laundry terus servis AC dan cleaning service,” kata Publik Relation Grand Tjoko, Lodevica Virgoani Putri.
Soal kerugian selama pandemi, ternyata cukup memukul juga. Wajar jika para pengusaha putar otak dalam mengutak-atik manajemennya bahkan merumahkan karyawannya.
Diakui General Manager Hotel Dafam Rohan Yogyakarta, Asmoro Handriyanto kepada Tirto, bulan Maret 2020, estimasi kerugian hotel bisa sampai Rp1,1 miliar.
Sejak pertengahan Maret 2020, saat pandemi menjangkiti Yogyakarta, sejumlah acara yang terjadwal, mesti dibatalkan. Potensi keuntungan menjadi lenyap seketika.
“Itu baru acara yang sudah terdaftar, belum dari acara-acara dadakan yang biasanya juga banyak dan tamu-tamu yang pesan [dadakan]” katanya.
Jika dikalkulasikan total kerugian, kata dia, bisa mencapai Rp2 miliar hanya pada bulan Maret 2020.