Lontar.id – Warga Kebun Sayur Ciracas, Jakarta Timur, kesulitan memenuhi haknya sebagai seorang Warga Negara Indonesia yang tercantum sesuai dengan amanat Pancasila pada Sila ke 5 dan UUD 1945. Warga pun kesulitan untuk mengurus dokumen negara seperti KTP dan tidak bisa mengakses pelayanan publik, terutama urusan kesehatan.
Pospera Posko Perjuangan Rakyat, Rudy Hartono Tambunan, mengatakan hal tersebut disebabkan karena adanya seorang oknum Pejabat Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta, yang sampai saat ini tidak memberikan hak Warga Kebun Sayur Ciracas dalam bentuk Administrasi Kependudukan yang resmi tercacat dan diakui kedudukan mereka sebagai warga di Kelurahan Ciracas Jakarta Timur.
“Tidak diberikannya KTP di daerah asli tempat tinggalnya membuat warga tidak bisa mengakses banyak sekali layanan publik, terutama urusan kesehatan,” ujarnya kepada Lontar, Selasa 10 Agustus 2021.
Lebih jauh, Rudy menuturkan Warga Kebun Sayur Ciracas meminta agar segera diberikan indentitas kependukukan sebagai Warga Negara Indonesia yang tercatat secara resmi di tempat warga tersebut tinggal dan duduki, yakni di Kebun Sayur Kelurahan Cicaras.
“Dengan beban yang berat karena tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, ada masyarakat yang sudah 2 tahun tidak mendapat 1 butir beraspun, itu semua disampaikan kepada pak Lurah sebagai kepala wilayah disini, perwakilan pak camat dan walikota,” tuturnya.
Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 171 Tahun 2016, Rudy mengatakan warga juga meminta dilakukannya pemekaran RT di Wilayah Kebun Sayur Ciracas, mengingat jumlah warga sudah melebihi kapasitas untuk dilakukannya pembentukan 1 RT dengan jumlah warga Kebun Sayur Ciracas kurang lebih 400 Kartu Keluarga.
“Mengapa begitu pentingnya pemekaran itu keluh kesahnya, ada anaknya yg sulit untuk mendapatkan KJP, ,ada anaknya yang sulit mendapatkan Fasilitas Kesehatan (Faskes), ada seorang pemuda gagal mendapatkan beasiswa karena identitasnya yang tidak sesuai, ada ibu-ibu yang anaknya akhirnya terpaksa sekolah swasta,” imbuhnya.
Menurut Rudy, warga negara kelas dua secara sistematis didiskriminasi dalam sebuah negara atau yurisdiksi politik lainnya, di samping status nominal mereka sebagai warga negara atau pemukim tetap disana. Sistem-sistem dengan warga kelas dua ‘de facto’ umumnya dianggap sebagai pelanggaran HAM.
“Kita tadi agak sedikit dihambat, karena begitu kami ingin menghadap lurah, dia mengatur cukup 2 warga (yang hadir). Sebelumnya, kami ajukan dalam pertemuan ini 7 warga yang akan ikut. Akhirnya, saya mengatakan ‘Pak ini warga ingin diterima, bapak sebagai pemimpin tolong diterima’, tapi dia mengatakan cukup 2 orang dan itu bukan dia yang bilang langsung,” tuturnya.
Menurut Rudy, sikap yang ditunjukan Lurah Ciracas, Rikia Marwan kepada warga merupakan hal yang kurang pantas.
“Hari ini Lurah Ciracas sudah memperlihatkan sebuah otoriter, menyuruh orang untuk menyampaikan pesannya, ini yang salah, sepertinya ini lurah produk rezim,” katanya.
“Kami sudah diterima bertemu walaupun sedikit ada intimidasi, tapi kami tak terprovokasi, kita tertib, sampai lurah menerima, dan ada dari perwakilan Camat, Walikota, RT, LMK juga ada, dan ada undangan yang mengklaim lahan yang ditempatkan warga milik dia (PPD) hadir di sana,” tambahnya.