Oleh: Yusran Darmawan (penulis dan peneliti)
Langkah Presiden Jokowi untuk membebaskan Abu Bakar Ba’asyir menjadi perbincangan publik. Banyak die hard atau pendukung berat Jokowi merasa kecewa dengan langkah politik itu. Menurut kabar yang beredar, pembebasan itu dilatari oleh persoalan kemanusiaan.
Suara-suara sumbang mulai bermunculan. Perdana Menteri Australia Scott Morison mengajukan protes. Ma’ruf Amin, cawapres Jokowi, memberi respon agar Scott untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Banyak pihak di tanah air yang mempertanyakan langkah politik itu.
Jika memang niatnya kemanusiaan, mengapa Jokowi tidak turun tangan untuk membela sejumlah kasus-kasus bernuansa intoleransi seperti Meiliana dan Ahok? Bagaimana halnya dengan nasib pengungsi Syiah di Sampang, juga Jemaah Ahmadiyah yang mengalami persekusi, hingga kasus-kasus intoleransi yang tengah marak?
Mengingat pilpres yang tak lama lagi digelar, mau tak mau, semua langkah Jokowi akan dikaitkan dengan pilpres. Jika niat pembebasan itu dikarenakan hasrat Jokowi untuk merengkuh suara sejumlah kalangan yang menjadikan Ba’asyir sebagai pahlawan, maka langkah itu jelas keliru.
Jokowi bisa kehilangan pendukung utama yakni kelas menengah yang jika dibelah dadanya bisa ditemukan guratan “NKRI Harga Mati” di situ. Jokowi mengabaikan pendukungnya yang selalu mengangkat wacana pluralisme, kebangsaan, serta NKRI. Jokowi bisa dianggap mengabaikan empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Baca Juga: Ba’asyir, Yang Ditentang Anak Kandung dan (Potensi) Jadi Komoditi Politik
Kalau memang niatnya untuk merebut suara, maka Jokowi mesti menghitung fakta kalau pendukung Ba’asyir telah lama melabuhkan suara ke kelompok sebelah. Beberapa orang mengatakan, mereka merasa nyaman karena kubu sebelah dianggap representasi Islam politik yang sering turun ke jalan untuk membela agama.
Namun, jika ditelaah lebih mendalam, ada beberapa asumsi yang bisa dikemukakan terkait pembebasan ini.
Pertama, pembebasan ini memang murni soal kemanusiaan. Ba’asyir telah melewati lebih dua per tiga masa tahanan. Usianya juga sudah renta dan sedang sakit-sakitan. Belasan tahun terakhir, dia berurusan dengan perkara hukum, mulai dari pengadilan hingga penahanan. Energinya habis untuk menjalani hidup di pengapnya sel penjara. Bahkan dia sempat menghuni lapas paling angker yakni Nusakambangan.
Ba’asyir juga diyakini sudah tidak mungkin berkoordinasi dengan sejumlah orang untuk aksi-aksi. Pihak keamanan punya banyak cara untuk memantau pergerakan Ba’asyir. Jika dia memang kembali berkonsolidasi dengan sel-sel gerakan, maka informasi itu bisa dengan cepat diketahui aparat.
Di tambah lagi, ada anggapan kalau mereka yang berada di usia sepuh sudah tidak lagi memikirkan dunia.
Kedua, strategi cantik Jokowi untuk kembali menaikkan pamor Yusril Ihza Mahendra. Bebasnya Ba’asyir tak bisa dilepaskan dari kuatnya lobi Yusril kepada Jokowi. Sebagai pengacara senior dan pimpinan partai berlabel Islam, Yusril dianggap dekat dengan sejumlah lingkaran dekat Ba’asyir.
Melalui pembebasan ini, Jokowi memberikan ruang dan panggung bagi Yusril, sekaligus menghidupkan lagi asa bagi partai yang dipimpin Yusril, yang telah diprediksi banyak lembaga survei akan sulit melewati ambang batas parlemen yakni 4 persen.
Jokowi paham bahwa para pendukung Yusril dan partainya akan beririsan dengan pendukung Gerindra dan koalisinya. Memberi ruang bagi Yusril sama dengan mengurangi basis suara bagi lawan politiknya.
Bagi Yusril sendiri, bergabung dengan kubu Jokowi menjadi pilihan cerdas sebab ketika bersama koalisi Prabowo, dia dan partainya hanya berada di tepian dan tak mendapat manfaat apa pun. Di tambah lagi, koalisi Prabowo tak memberikan satu solusi dan jalan keluar bagaimana membesarkan partai-partai yang berada di koalisi.
Bebasnya Ba’asyir sendiri sempat membuat kubu lawan panik. Belum lagi bebas, sudah banyak beredar artikel di WhatsApp Grup yang menyebutkan bahwa tidak ada andil Jokowi di situ. Bebasnya Ba’asyir dianggap hal yang sudah seharusnya sebab beliau telah menjalani dua per tiga masa hukuman. Ini bisa dilihat sebagai indikasi kepanikan.
Ketiga, strategi Jokowi untuk mengalihkan perhatian publik dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan segera keluar penjara. Bebasnya Ahok tidak serta-merta membuat semua isu yang dihembuskan padanya akan selesai. Ahok masih dianggap sebagai perekat bagi bersatunya elemen oposisi yang bisa menambah semangat juang mereka untuk menjatuhkan Jokowi.
Belum lagi keluar dari tahanan, sejumlah orang sudah siap untuk menggelar aksi untuk memperkarakan Ahok dengan sejumlah kasus-kasus lain. Pihak yang paling diuntungkan dari aksi-aksi itu adalah oposisi yang pernah mengambil berkah dari isu Ahok di pilkada DKI Jakarta, serta memperkuat koalisi mereka.
Di media sosial, isu Ahok ibarat peluru yang tak habis-habisnya ditembakkan untuk menghantam PDIP dan Presiden Jokowi sendiri. Masih banyak kampanye “Jangan pilih partai pendukung penista agama” berseliweran. Jika Jokowi dan koalisinya tak punya strategi pembalikan isu yang tepat, maka isu ini bisa terus melebar ke mana-mana dan menggerus tabungan suara.
Keempat, strategi untuk menepis stigma. Isu paling kuat yang menghantam Jokowi di pilpres ini adalah isu identitas. Isu ini sukses diterapkan dalam pilkada DKI Jakarta. Biarpun saat debat pilpres, isu ini tidak nampak, namun sulit untuk menampik fakta kalau di akar rumput, isu identitas menjadi komoditas paling laris yang dijual elite politik.
Hingga saat ini, Jokowi masih saja dianggap sebagai anti-Islam serta mengkriminialisasi ulama. Padahal, faktanya Ba’asyir ditangkap dan divonis pada era SBY. Bahkan, Habib Rizieq Shihab yang menjadi simbol gerakan 212 pernah ditahan pada era SBY karena dianggap menyebabkan keributan.
Memang, tak serta-merta semua pendukung Ba’asyir akan menjatuhkan pilihan ke Jokowi. Tapi setidaknya pembebasan itu bisa mengirimkan satu sinyal kuat bahwa pemerintahan Jokowi bukan anti-Islam serta punya keberpihakan pada ulama dan anak bangsa. Jika ada yang menyangkal, maka bebasnya Ba’asyir akan menjadi contoh yang akan sering dikutip.
Kelima, meredam efek radikalisasi. Mengingat usia Ba’asyir yang kian renta, jika ada apa-apa dengannya, maka pemerintah bisa menjadi pihak tertuduh. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, “Bayangkan kalau terjadi apa-apa di penjara itu, maka pemerintah akan dianggap salah.”
Tahun 2016, pemerintahan Jokowi memindahkan penahanan Ba’asyir yang tadinya di Lapas Nusakambangan ke Lapas Gunung Sindur di Bogor. Jika Ba’asyir meninggal di tahanan, maka akan menjadi kartu as bagi lawan politik yang segera menuduh pemerintah telah menelantarkan seorang ulama tua hingga meninggal di tahanan.
Jika tewas di tahanan, maka akan membangkitkan semangat kaum jihadis yang akan melihat Ba’asyir sebagai martir. Kardono Aryo Setyorakhmadi, seorang jurnalis yang sering ke Timur Tengah dan bertemu kelompok Hamas, menilai, jika Ba’asyir meninggal di tahanan, efeknya bisa sama dengan tewasnya Sayyid Quthb di Mesir tahun 1966 lalu.
Baca Juga: Segera Bebas, Berikut Jejak Ba’asyir dari Penjara ke Penjara
Kardono juga menilai, Ba’asyir jauh lebih dikenal para jihadis di Timur Tengah dibandingkan nama seperti Aman Abdurrahman. Dalam situasi kesehatan Ba’asyir yang kian parah, maka pilihan terbaik adalah membebaskannya. Masih mengutip Kardono, ini bukan soal cebong dan kampret. Ini hanya soal pilihan-pilihan strategi terbaik yang bisa memadamkan berbagai peristiwa yang bisa muncul di masa depan.
Entah mana yang benar dari lima asumsi di atas. Yang pasti, bebasnya Ba’asyir akan semakin menambah kontroversi yang bisa kian menggerus tabungan suara Jokowi di pilpres nanti. Bisa pula itu dilihat sebagai pilihan strategis untuk menghadirkan Indonesia yang bersih dari terorisme, sekaligus memberikan keadilan dan rasa aman kepada semua warganya, juga menangkal apa yang bisa terjadi di masa depan.
Di titik ini, kita tak boleh berhenti berharap, Indonesia akan selalu menjadi bangsa yang lebih baik di masa mendatang.