Lontar.id – Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta meningkatkan status Gunung Merapi di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, dari waspada (level II) menjadi siaga (level III) sejak Kamis, 5 November 2020.
Peningkatan status tersebut menyebabkan pemerintah setempat lebih waspada. Pemkab Sleman, misalnya, menetapkan status tanggap darurat hingga tanggal 30 November 2020. Bahkan kelompok rentan di satu dusun di Desa Glagaharjo sudah diungsikan sejak 8 November lalu di barak pengungsian.
Sejumlah warga di Kabupaten Magelang dan Boyolali, Jawa Tengah pun telah diungsikan ke barak-barak yang dibangun di daerah masing-masing.
Dilansir dari beberapa sumber, erupsi Gunung Merapi yang terakhir kali tercatat adalah pada pada Minggu, 21 Juni 2020, yaitu pada pukul 09.13 dan 09.27 WIB.
Tinggi kolom erupsi pertama kurang lebih 6.000 meter dari puncak Gunung Merapi, sedangkan arah angin saat terjadi erupsi mengarah ke barat. Sementara, erupsi kedua dengan amplitudo 75 milimeter terjadi selama 100 detik, namun tinggi kolom pada erupsi kedua tidak teramati.
Sebelumnya, pada 17 November 2019. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Kementerian ESDM mencatat, letusan gunung menyemburkan awan panas setinggi 1.000 meter dengan kondisi angin bertiup ke barak.
Dari beberapa letusan yang terjadi dalam satu dasawarsa, erupsi pada tanggal 26 Oktober 2010 merupakan yang terbesar, dan mengakibatkan ratusan orang tewas, termasuk sang juru kunci, Mbah Marijan. Aktivitas seismik erupsi kala itu dimulai pada akhir September 2010.
Pada 20 September 2010, Status Gunung Merapi dinaikkan dari Normal menjadi Waspada oleh BPPTK Yogyakarta. Sehari kemudian, statusnya meningkat menjadi siaga.
Sehari sebelum erupsi besar, yakni 25 Oktober, BPPTK Yogyakarta meningkatkan status Gunung Merapi menjadi Awas pada pukul 06.00 WIB.
Letusan tanggal 26 Oktober 2010 terjadi sekitar pukul 17.02 WIB. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan diiringi keluarnya awan panas setinggi 1,5 meter yang mengarah ke Kaliadem, Kepuharjo. Letusan ini menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km.
Pada 27 Oktober, Gunung Merapi kembali meletus. Pada tanggal 28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan Lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB.
Sejarah Tertulis Letusan
Sebelum masa kolonial Belanda, sejarah letusan tidak tercatat secara jelas. Letusan Gunung Merapi baru tercatat pada awal masa kolonial Belanda, yakni sekitar abad XVII. Letusan-letusan besar yang terjadi sebelum itu hanya didata berdasarkan periode.
Pada periode 3000-250 tahun yang lalu, Merapi diperkirakan meletus sebanyak 33 kali, dengan tujuh letusan besar. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa letusan besar terjadi sekali dalam 150-500 tahun (Andreastuti dkk, 2000).
Pada periode Merapi baru terjadi beberapa kali letusan besar, yakni tahun 1768, 1822, 1849, 1872, dan abad ke-20 yaitu 1930-1931.
Erupsi yang terjadi abad ke-19 diperkirakan jauh lebih besar dari letusan abad XX, sebab awan panas mencapai 20 kilometer dari puncak. Letisan besar kemungkinan terjadi 100 tahun sekali (Newhall, 2000).
Letusan terbesar yang terjadi pada abad XX adalah tahun 1931. Sepanjang abad ini minimal ada 28 erupsi.
Dilansir Kompas.com, berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun.
Masa istirahat berkisar antara 1-18 tahun, yang berarti masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat adalah 18 tahun.
Secara umum, letusan Merapi pada abad XVIII dan abad XIX masa istirahatnya relatif lebih panjang, sedangkan indeks letusannya lebih besar.
Akan tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa masa istirahat yang panjang, menentukan letusan yang akan datang relatif besar.
Berdasarkan fakta, beberapa letusan besar mempunyai masa istirahat yang pendek.
Atau sebaliknya, pada saat mengalami istirahat panjang, letusan berikutnya ternyata kecil.
Terdapat kemungkinan juga bahwa periode panjang letusan pada abad XVIII dan abad XIX disebabkan banyak letusan kecil yang tidak tercatat dengan baik, karena kondisi saat itu.
Jadi besar kecilnya letusan lebih tergantung pada sifat kimia magma dan sifat fisika magma.