Jakarta, Lontar.id – “Ini bicara bagaimana Kalian menjaga Siri’ di sepak bola,” begitulah sepenggal kalimat yang ditulis Wakil Satgas Anti Mafia Bola, Brigjen Pol Krisnha Murti pada akun instagram pribadinya @krisnhamurti_bd91, Kamis (21/2/2019).
Hingga, Jumat (22/2/2019), tulisan Krisnha itu telah disukai 70.158 orang. Beragam komentar dari banyak fans sepak bola ikut mengapresiasi. Suporter PSM pun tak ketinggalan mengisi kolom komentar. Bahkan, CEO PSM Makassar, Munafri Arifuddin juga tak luput memberikan respons.
Baca Juga: Daeng Uki, Romansa dan Cinta Tak Bersyarat kepada PSM
Sebagian besar pendukung PSM Makassar merasa bangga. Kerinduan akan gelar juara yang dinantikan sedikit terbayar dengan dukungan positif. Kata Siri’ juga memenuhi kolom komentar. Krisnha Murti mengaku bukan orang Makassar atau berdarah Sulawesi Selatan (Sulsel). Tapi, dia mengerti apa itu makna Siri’ bagi orang Sulsel.
“Saya bukan orang Makasar. Saya orang Indonesia lahir di Ambon, Besar di Jakarta Malang dan Bandung. Tapi hari ini saya nyatakan, SAYA BANGGA KEPADA KALIAN PSM.. I LOVE YOU PSM EWAKO #kmupdates (Mudah2an suatu waktu saya bisa nonton bola bersama kalian di stdion kebanggaan Makasar) @psm_makassar .
Maaf ini bukan bicara mafia, bukan bicara Satgas, bukan bicara gelar,” terang Krisnha di awal tulisannya.
PSM disebut Krisnha, anti terhadap mafia bola. Apalagi sampai menyuap wasit hanya untuk dipermudah sebagai pemenang. Pernyataan Krisnha tersebut didasari oleh keterangan beberapa wasit sepak bola Indonesia yang telah diperiksa pihaknya.
Baca Juga: Untuk Bung, Kawanku yang Menjadi Suporter PSM Makassar
Ada tiga klub Liga 1 yang dianggap bersih dari suap maupun gratifikasi terhadap perangkat pertandingan. Mereka adalah Persib Bandung, Persipura Jayapura, dan PSM Makassar.
Pujian Krisnha lalu diungkapkannya dengan mengupload sebuah video kesedihan suporter PSM Makassar. Pada musim 2018 lalu, PSM Makassar hanya mampu finis di posisi kedua Liga 1. Kemenangan PSM di laga akhir atas PSMS Medan kala itu terus diiringi teriakan mafia bola.
Baca Juga: Jika PSM Kehilangan Huruf P dan S
Suporter PSM menganggap tim mereka lebih pantas meraih juara di tengah mengemukanya kabar soal pengaturan skor hingga dugaan suap terhadap wasit.
Namun, Sikap Fair Play PSM Makassar dalam kompetisi mendapat apresiasi yang besar dari Krisnha. Apalagi klub berjuluk Juku Eja itu mampu menjaga budaya Siri’ mereka dalam sepak bola. Kata Siri’ sendiri merupakan bahasa daerah Bugis-Makassar. Secara umum, Siri’ diartikan sebagai rasa malu.
Makna Siri’ dalam Budaya
Budaya Siri’ hingga kini masih melekat dalam falsafah masyarakat Sulsel. Khususnya Bugis-Makassar. Di Sulsel, terdapat berbagai macam suku dengan segala kebudayaan yang dimilikinya. Yaitu suku Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.
Baca Juga: Masihkah Sepakbola Kita Tak Ramah Perempuan?
Di dalam kebudayaan aslinya, masyarakat Makassar dan Bugis menjadikan siri’ na pacce sebagai pegangan atau falsafah hidup yang tertuang dalam sistem sosial. Falsafah tersebut sebagai dasar pijakan hidup orang Bugis-Makassar baik di daerahnya maupun saat hidup di Perantauan.
Dalam tulisan Andi Moein, A.M.G, yang berjudul Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Siri’ na Pacce (1990), makna sejati Siri’ sebagaimana diungkapkan dalam lontara La Toa (Naskah Aksara Tradisional Bugis-Makassar) yang berisi petuah-petuah, siri’ dapat dimaknai sebagai harga diri atau kehormatan.
Baca Juga: Gubernur Baru Jatim dengan Nama Sulsel yang Melekat
Juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah terhadap kehidupan duniawi (Moein MG, 1990: 10). Sedangkan makna pacce dapat diartikan sebagai rasa simpati yang dalam konsep masyarakat merupakan rasa atau perasaan empati terhadap sesama dan seluruh anggota komunitas yang terdapat dalam masyarakat.
Baca Juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Setiap manusia keturunan Bugis-Makassar dituntut harus memiliki keberanian, pantang menyerah menghadapi tantangan ataupun ujian hidup. Itulah sebabnya maka setiap orang yang mengaku sebagai masyarakat Bugis-Makassar memiliki orientasi yang mampu menghadapi apapun. (Moein, 1990: 12).
Falsafah yang Sakral
Muh. Abdi Goncing, menulis dalam makalah yang berjudul: Siri’ Na Pacce Sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Bugis-Makassar dalam Perspektif Filsafat Sejarah. Ia mengungkap Siri’ merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siri’ atau de’ni gaga siri’na (hilang rasa malu), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia.
Bahkan orang Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata: Siri’mi Narituo (karena malu kita hidup). Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (Nipakasiri’) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan malu dari pada hidup tanpa Siri’.
Baca Juga: Kitab Centhini dalam Falsafah Persetubuhan
Sedangkan Pacce sendiri merupakan sebuah nilai falsafah yang dapat dipandang sebagai rasa kebersamaan (kolektifitas), simpati dan empati yang melandasi kehidupan kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Hal ini terlihat jika ada seorang kerabat atau tetangga maupun seorang anggota komunitas dalam masyarakat Bugis-Makassar yang mendapatkan sebuah musibah.
Maka dengan serta merta para kerabat atau tetangga yang lain dengan senang hati membantu demi meringankan beban yang terkena musibah tadi. Seolah bagi keseluruhan komunitas tersebut, merekalah yang sejatinya terkena musibah secara kolektif.
Jika nilai ini kemudian dilihat dari sudut pandang filsafat sejarah, maka akan ditemukan bahwa hakekat prinsip tersebut bersumber pada leluhur masyarakat Bugis-Makassar yang tersimpul dengan “duai temmallaiseng, tellui temmasarang” (dua bagian yang tak terpisahkan dan tiga bagian yang tak terceraikan). Artinya bahwa nilai ini sejatinya telah dirumuskan di masa lalu oleh para tetua dan kaum adat masyarakat Bugis-Makassar.
Baca Juga: Fantasi Fans AC Milan Menghadirkan San Siro di Makassar
Sejatinya, pengetahuan masyarakat Bugis-Makassar dan Sulsel secara umum atas sumber-sumber ajaran dari konsep nilai ini, telah ada dan tertuang dalam lontar-lontar Bugis-Makassar yang berisi tentang petuah-petuah (paseng ) yang menjelaskan bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan.
Di antara hal-hal yang tertuang dalam lontar (lontara’) masyarakat Bugis-Makassar tersebut, ada lima perkara atau pesan penting yang disebutkan di dalamnya. Itu diperuntukkan bagi generasi pada saat itu, dan generasi yang selanjutnya agar senantiasa dipegangi dan ditegakkan dalam kehidupan. Kelima hal tersebut, sebagaimana yang dicatat oleh Andi Moein MG (1990: 17-18) adalah:
-Manusia harus senantiasa berkata yang benar
(ada’ tongeng).
-Harus senantiasa menjaga kejujuran (lempu’ )
-Berpegang teguh pada prinsip keyakinan dan pendirian (getteng)
-Hormat-menghormati sesama manusia (sipakatau)
-Pasrah pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (mappesona ri dewata seuwae)
Jika melihat pesan-pesan tersebut, maka sejatinya yang sangat dituntut dari nilai falsafah siri’ adalah menyangkut etika atau tata krama dalam pergaulan dan menyangkut persoalan jati diri seseorang. Sebab jika dilihat lagi lebih dalam, maka sejatinya harga diri dan rasa malu seseorang akan senantiasa terjaga jikalau senantiasa menjaga dan memegangi kelima pesan tersebut.