Lontar.id – Perkembangan teknologi masa kini memang telah merubah perilaku kita tentang cara mendengarkan musik. Jika di masa lampau era 80-an, kita bisa mendengarkan musik melalui kaset pita dan piringan hitam (vinyl), namun berbeda halnya di masa kini. Orang-orang sudah bisa langsung memutar musik melalui format audio visual di youtube, sporty dan aplikasi sejenis.
Bahkan kita tak perlu bersusah payah berburu kaset band kesukaan di pasar, karena kini sudah tersedia di aplikasi. Dengan internet, segalanya menjadi mudah. Cukup mendowlod saja dan mendengarkannya kembali kapan saja sesuai keinginan.
Tapi keberadaan teknologi tak berarti mematikan para penyuka musik melalui kaset pita dan piringan hitam. Sebagian menganggap youtube dan aplikasi lainnya bukanlah medium utama untuk mendengarkan musik. Seperti Rizky Akbar, ia salah satu kolektor kaset lawas tahun 80-an ke bawah, sekaligus sebagai penjual di Pasar Santa Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Saat saya bertandang ke lapaknya yang berukuran sekira 2 kali 3 meter persegi, terlihat sejumlah koleksi kaset pita yang disusun berjejer di dinding.
Ada juga yang ia susun rapi dalam rak kecil yang sudah dipesan pembeli. Sedangkan rak yang satunya lagi, ada sejumlah kaset piringan hitam seperti album Doa Ibu dari Titek Puspa.
Selain kaset dan vinyl berjejeran, terdapat juga beberapa tape recorder versi lawas yang masih aktif. Belum terhitung tape recorder dan kaset yang ia koleksi di rumah, berkisar ribuan jumlahnya.
Dari sekian koleksi kaset yang ia miliki, kebanyakan dari genre Rock N’ Roll, SKA, Metallica, dan ada juga pop rock. Menurut Rizky Akbar, ia mulai mengoleksi kaset pita lawas sejak kecil. Dan hobinya itu terus dia lanjutkan hingga sekarang. Dari sekian banyak kaset yang ia koleksi, genre musik rock dan band Pink Floyd asal Inggris yang paling ia suka.
“Paling gue suka sih, Band Pink Floyd, asyik aja dengernya,” kata Rizky Akbar saat berbincang dengan lontar.id, 11 September 2019..
Berawal dari hobi mengoleksi kaset lawas, lalu ia melihat adanya peluang usaha yang cukup menjanjikan dari hobinya itu. Sekitar dua tahun lalu, ia putuskan untuk membuka usaha jualan kaset pita dan vinyl di lapaknya. Sebab di pasaran masih terdapat sejumlah orang yang masih berburu kaset lawas untuk koleksi.
Meskipun keutungannya setiap hari tidak terlalu besar, lantaran hanya menyentuh pasar segmentet saja, yaitu orang tertentu yang belum bisa move on dari kaset lawas ke audio visual.
Namun ada saja pembeli yang datang berkunjung ke tokonya. Kadang hanya datang sekadar melihat-lihat saja koleksi kaset, tetapi tidak sedikit juga yang datang langsung mencari kaset band kesukaannya.
“Tidak menentu setiap hari, tapi ada saja pembeli.”
Soal harga kaset pita dan piringan hitam lanjut Rizky Akbar, memang sangat variatif, untuk kaset biasa yang mudah didapatkan, dibanderol dengan harga Rp5 ribuan saja. Sedangkan kaset yang sulit ditemukan di pasaran tentu harganya kompetitif dan mahal sampai Rp1 jutaan. Sedangkan piringan hitam yang pernah laku sampai Rp1,5 juta.
“Tergantung sih, ada gue jual 5 ribuan. Kalau Vinyl yang pernah laku Rp1,5 (juta),” katanya.
Untuk menambah koleksi jualan, Rizky Akbar terkadang mencari kaset di Pasar Puring setiap pekannya. Di sana terdapat sejumlah kaset lawas yang bisa ia beli, terkadang kasetnya harus diperbaiki terlebih dahulu sebelum dijual, karena sudah lama tidak pernah disetel dan bisa saja rusak.
Agar pelanggannya merasa puas membeli di lapaknya yang diberi nama warriors, ia harus mereparasi lebih dahulu. Jika di Pasar Puring ia tak menemukan kaset yang ia cari, terkadang juga ia dapat dari kenalan yang masih menyimpannya.
“Setiap pekan gue hunting di Pasar Puring, ada juga dari kenalan dari orang-orang sih,” ucapnya.
Rizky Akbar yang sudah kadung dengan musik lawas ini mengungkapkan, bahwa ada perbedaan antara musik lawas dengan musik masa kini yang tersedia di berbagai platform. Jika Rizky Akbar mendengarkan musik rock melalui tape recorder dan piring hitam, akan lebih terasa enak di telinga karena sound sistemnya juga dari tempo dulu.
Ada nuansa masa lalu yang turut ikut dalam alunan musik, berbeda halnya dengan musik MP3 dan youtube, intonasinya menurut Rizky Akbar tidak enak saja di telinga.
“Gue pernah coba dengar lewat MP3 dan youtube, berasa bedanya. Enggak hard aja di telinga,” kata Risky.
Seperti diketahui, ada banyak orang masih beranggapan, bahwa genre musik Rock N’ Roll di kancah dunia hiburan telah mati, lapuk oleh waktu dan musik genre pendatang baru jadi salah satu alasannya.
Namun, anggapan tersebut bagi Rizky tidaklah benar. Ia membuktikan sendiri jika peminat terhadap musik Rock N’ Roll tak pernah mati. Khusus bagi pelanggannya yang masih senang menikmatinya melalui kaset pita dan vinyl.
Rock N’ Roll di Indonesia
Genre musik rock yang menghentak memang bikin adrenalin berpacu, karena aliran energi musik ini kadang dijadikan sebagai semangat perlawanan.
Di Amerika Serikat, tanah kelahiran band musik aliran rock sangat populer dan disukai oleh kalangan muda. Spirit perlawanan atas kemapanan cukup sukses di Amerika Serikat pada dekade akhir 1940-an. Genre musik blues disebut-sebut banyak memberikan sumbangan atas perkembangan musik Rock N’ Roll di masa selanjutnya.
Awal tahun 1950-an, aliran musik Rock N’ Roll mulai masuk di Indonesia. Band seperti Led Zeppelin, Deep Purple dan Black Sabbath yang datang dari daratan Inggris kian diminati kalangan pecinta musik rock. Tak afdol rasanya, jika band musik Indonesia saat manggung tak membawakan lagu dari tiga band ini.
Namun di masa rezim Orde Lama (Orla), musik Rock N’ Roll sempat dilarang pemerintah karena bernuansa kebarat-baratan, karena dianggap representatif dari gaya kapitalisme, impreliasme dan konoliasme. Pun dalam syair musik rock mengandung ajakan perlawanan, mengkritik pemerintah melalui musik. Meski begitu, musik rock tetap banyak diminati banyak kalangan.
Koes Bersaudara yang beranggotakan Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, Tonny Koeswoyo dan Nomo Koeswoyo adalah salah satu pemusik yang jadi korban dari rezim Soekarno. Orde lama menganggap pelanggaran bagi mereka yang mengadopsi musik aliran Barat ini. Koes Bersaudara mendekam di penjara karena menyanyikan lagu-lagu milik The Beatles dan Elvis Presley. Lagu-lagu rock yang dinyanyikan Koes Bersaudara ini disebut Soekarno sebagai musik ngak-ngik-ngok.
Lain halnya dengan Dara Puspita (1960-an) dari Surabaya. Genre musiknya Rock N’ Roll, namun tak pernah disentuh Soekarno. Alasanya simpel, Dara Puspita tak menyelipkan kritikan terhadap pemerintah saat manggung, sehingga tak pernah dilarang atau dijebloskan ke penjara.
Pada 1950-an band asal Surabaya, Thilmar Broter merupakan cikal bakal lahirnya musik rock di tanah air. Lantaran Tielmar Brother ingin menjajaki panggung lebih luas lagi, akhirnya mereka putuskan untuk go internasional.
Belanda dan beberapa negara lainnya jadi salah satu tempat yang jadi tujuan Tielmar Brother. Saat manggung di Munich Jerman, seorang musisi kawakan Mick Jagger (Inggris) melihat aksi panggung Tielmar Brother, lalu terinspirasi kemudian membentuk Band Rolling Stone.
Penulis: Ruslan