Satu lagi putra terbaik Sulsel meninggalkan kita. Mayjen TNI (Purn) H.Z.B. Palaguna. Meninggal dunia tanggal 2 Oktober 2019, tepatnya Sore hari. Almarhum pernah manjabat Wagub Sulsel dan Pangdam VII Wirabuwana. Terakhir, sebagai Gubernur Sulsel dua periode periode, 1993-2003. Saya hadir di upacara pelepasan jenazah. Semalam saya juga hadir di rumah duka.
Sesungguhnya saya tidak terlalu lama berinteraksi dengan almarhum dalam konteks kedinasan. Namun ada beberapa catatan kecil yang selalu saya ingat.
Pertama, saat menjabat Wagub Sulsel. Bila beliau kunker ke daerah, para camat pasti menyiapkan data terkait wilayahnya. Dengan sorot mata tajam dan tanpa senyum, tegas penuh wibawa, satu per satu camat di suruh berdiri melaporkan berbagai hal. Realisasi PBB, KB, situasi keamanan dll.
Kedua, waktu saya mendapat panggilan menjadi dosen IIP tahun 1989. Saat itu saya menjabat camat Wotu, Kabupaten Luwu. Sesaat setelah menerima telegram dari Depdagri, saya ke Makassar mau melapor kepada gubernur Sulsel waktu itu, Bapak Prof. Amiruddin. Karena gubernur dinas luar daerah, saya lalu menghadap wagub Bapak HZB, Palaguna.
Setelah melaporkan perihal telegeram itu, saya kemudian minta pertimbangan beliau. Pak Palguna membuka laci maja kerjanya. Mengambil buku agenda kerja. Sambil memperlihatkan catatan, beliau bilang
“Sebenarnya kamu salah seorang camat daerah yg dipertimbangkan ditarik jadi camat di Kota Makassar”. Kata Pak Palaguna. Di masa itu promosi dan mutasi camat memang kewenangan gubernur. “Tetapi saya sarankan lebih baik menerima tawaran jadi dosen. Karena kalau kamu tinggal di sini, nanti kariermu tidak karuan. Hanya mutar-mutar di situ-situ saja. Lanjut beliau.
Ketiga, tahun 2002. Pak Palaguna sudah jadi gubernur. Saya jadi bupati. Beliau hadir di Masamba dalam rangka acara pengecoran perdana jalan beton poros Malangke dan peresmian dimulainya pembangunan Baruga Pattimang. Pak Palaguna menginap di rujab bupati. Selesai sholat magrib beliau ke teras rujab, ngobrol. Pada kesempatan itu beliau bilang. Aneh juga rumah ini untuk tidak mengatakan angker.
“Tadi waktu saya sholat, seperti ada makmum ikut sholat. Padahal saya yakin pintu kamar saya kunci dan saya sholat sendiri”. Kata beliau.
“Saya juga seperti mendengar ada bisikan dlm bahasa bugis”. Yang artinya “kenapa kamu mau melakukan acara tapi tidak minta izin ke saya”. Beliau kemudian bertanya ke saya. “Ada apa di lokasi pengecoran besok”. Saya jawab, di situ ada 2 makam tua.
Makam Dato’ Sulaiman yang dikenal juga dengan Dato’ Pattimang. Penganjur Islam dari Minangkabau yang menyebarkan ajaran Islam di Luwu. Dan makam La Patiware, Datu Luwu ke 15. Datu yg pertama memeluk Islam. Beliau kemudian bilang, “kalo begitu besok kita ziarah sebelum acara dimulai”.
Maka esok harinya, acara pengecoran perdana jalan beton diawali dengan ziarah ke kedua makam tersebut. Acara ziarah sebelumnya tidak masuk agenda.
Keempat. Baik semasa jadi wagub maupun semasa jadi gubernur, saya tidak pernah mendengar ada keluarga beliau yang ikut campur urusan dinas. Apakah itu urusan proyek, apakah itu urusan mutasi. Istri beliau, ibu Nurmi Palaguna tipikal ibu rumah tangga. Tidak mencampuri urusan dinas suaminya.
Sungguh beda dengan isteri atau suami pejabat sekarang. Yang sering kali lebih berkuasa dari pejabat sesungguhnya. Begitu berkuasanya, maka jika pejabatnya digelar 01, si isteri atau suami digelari 00.
Selamat jalan pak Palaguna. Saya bersyukur pernah mengenalmu. Meski hanya sesaat. Namun begitu, banyak pelajaran hidup yang saya petik darimu. Saya hanya bisa mendoakan semoga segala amalanmu diterima oleh Allah SWT. Dosa-dosamu diampuni. Dan keluarga yang engkau tinggalkan menerima kepergianmu untuk selamanya dengan tabah.
ALFATIHAH…
Penulis: Anggota DPR RI Periode 2014-2019, Luthfi A Mutty.