Tinggal sepuluh hari lagi waktu yang ditunggu-tunggu, yaitu tanggal 20 September tahun ini Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, serta akan diumumkan nama-nama yang akan menduduki kabinet pemerintahannya.
Dalam menunggu waktu resepsi pelantikan ini menimbulkan dua perasaan sekaligus: yaitu perasaan senang, karena Jokowi-Amin akan segera dilantik presiden setelah memenangkan pilpres pilihan rakyat; dan disaat yang sama juga memunculkan perasaan cemas, disebabkan literasi politik Jokowi yang lemah dalam menghadapi banyak persoalan-persoalan sosial politik bangsa, dan menguatnya kekuatan oligarkis dalam mengatur dan mengendalikan seluruh perilaku serta kebijakan yang akan diambil pada kabinet kedua Jokowi.
Munculnya kecemasan sosial dalam psikologi politik kita jelang pengumuman kabinet kedua ini, disebabkan oleh dua hal, seperti yang disebutkan di atas yaitu lemahnya literasi politik Jokowi dan menguatnya kekuatan oligarki. Pertama, residu politik Presiden Jokowi selama periode pertama cukup banyak menyisakan persoalan sosial kebangsaan.
Mulai dari perosalan konflik horizontal antar warga negara akibat dari berbeda pilihan dan dukungan politik, persoalan kondisi perekonomian yang kian menyulitkan masyarakat, persoalan penegakkan hukum yang cenderung tenang pilih, tajam pada pihak-pihak yang kontra terhadap pemerintah dan tumpul pada pihak-pihak yang pro pemerintah, persoalan tatakelola badan usaha dan lembaga-lembaga negara, hingga persoalan hoax yang kian hari kian menghawatirkan demokrasi bangsa Indonesia.
Persoalan-persoalan ini tidak ada proses penyelesaian yang signifikan, ia terinfilter dalam lipatan-lipatan isu yang silih berganti melalui jaringan media sosial. Dan masyarakat dibiarkan bertarung bebas dalam deru status, cuitan, dan informasi yang disebarkan melalui robot-robot media tersebut, sambil perangkat hukum pemerintah mengintip siapa yang dianggap “menghina” pemerintah untuk ditangkap.
Sementara presiden Jokowi selalu absen, diam dan tidak pernah memberi penerangan, penjelasan dan literasionansi kepada masyarakat Indonesia tentang persoalan-persoalan mengemuka. Ini akan memicu ketegangan sosial secara kontinyu, yang berujung pada perpecahan.
Untuk itu, literasi politik presiden di tengah situasi politik yang tegang seperti saat ini sangat penting. Dalam istilah komunikasi “A good leader is a leader has good reading and literacy”, yaitu pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki kemampuan membaca dan literasi yang baik. Kemampuan inilah yang dimiliki oleh Bung Karno, Bung Tomo, dan H.O.S Cokroaminoto.
Dengan kemampuan retorik, literatif, dan pembacaan yang tajam mereka dapat mengartikulasikan persoalan-persoalan negara dengan sangat solutif, stabil dan aspiratif. Sebaliknya, ketidakmampuan literatif, akan mengakibatkan presiden tidak punya kemampuan dan strategi dalam menyelesaikan masalah, akibatnya muncul aktor-aktor yang memanfaatkan kelemahan ini untuk kepentingan politik, ekonomi dan kekuasaan. Dan masyarakat akan tetap dalam obang-ambing hoax, ketidakpastian hukum, dan ketegangan sosial antar warga.
Kedua, menguatnya oligarki politik dalam tubuh politik dan kekuasaan Jokowi di periode kedua ini masif dan radiks. Hal ini dapat dibaca dari sejak proses kontestasi politik pada pilpres lalu, dimana bersatunya kekuatan-kekuatan korporasi dan capital, baik dalam wujud partai politik, media massa, perusahaan, badan usaha, organisasi, maupun individu-individu, dalam memenangkan Jokowi-Amin jadi presiden.
Di bidang media misalnya, Eric Tohir, Haritano Sudibyo, dan Surya Paloh adalah para aligark yang menjadi tim pemenangan Jokowi presiden, tidak hanya merupakan ketua umum partai politik, tetapi juga menguasai dan memiliki industri raksasa media. Beberapa oligark yang disebutkan di antara banyak oligark-oligark yang belum disebutkan ini, kata Noam Chomsky dan Edward Herman dalam karyanya “Manufacturing Content” (1988), memiliki tiga kepentingan sekaligus: yaitu kepentingan politik kekuasaan, kepentingan komersial ekonomi, dan kepentingan pasar ideologi.
Semua kepentingan itu bukan diperuntukkan untuk rakyat dan bangsa melainkan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, bisnis-perusahaan, dan kelompok. Ini disebut oligarki ekonomi.
Aroma oligarkis juga dilihat dengan telanjang pada proses penyusunan pimpinan lembaga legislatif, yaitu DPR, MPR, DPD, dan termasuk penetapan pimpinan KPK serta revisi UU KPK, yang patutnya disebut sebagai awal kemenangan oligarki di Indonesia pasca orde baru.
Bagaimana tidak, sebab ditetapkannya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Golkar, ditunjuknya Puan Maharani oleh PDIP sebagai partai pemenang menjadi Ketua DPR RI, dan dipilihnya La Nyala Matalitti menduduki posisi Ketua DPD RI merupakan perwujudan bersatunya kekuatan oligarki politik menguasai terutama lembaga legislatif.
Kenapa hal ini disebut simbol oligarki politik? Karena ketika pimpinan lembaga tersebut memiliki relasi kuasa secara sangat intim dengan presiden Jokowi sebagai kepala eksekutif. Bamsoet dan Puan berasal dari partai koalisi pendukung pemerintah yaitu Partai Golkar dan PDIP. Dan berulang kali ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengatakan bahwa Presiden Jokowi merupakan petugas partai PDIP di eksekutif, seperti juga hal dengan Puan yang ditugaskan partai di legislatif.
Sebagai petugas partai, tentu harus taat dan patuh pada atasannya yaitu ketua umum. Kebijakan keduanya harus selalu searaha dan sejalan dengan garis-garis besar haluan partai. Artinya antara Jokowi sebagai kepala eksekutif dan Puan ketua DPR tidak boleh ada pertentangan.
Begitu juga dengan Bamsoet sebagai ketua MPR, sesama koalisi pendukung Jokowi, harus tetap selalu searah dengan kebijakan yang dijalankan PDIP, Jokowi dan Puan. Relasi oligarki politik yang sama juga terjalin dengan sangat romantis kepada Ketua DPD RI La Nyala. Sebagai pendukung setia Jokowi, Ia dipilih menjadi ketua DPD, mengalahkan nama-nama besar seperti Jimly Asshiddiqie, dan (mungkin) sebagai kontraknya ia harus tetap konsisten mendukung dan mengamankan seluruh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Jokowi dan PDIP.
Relasi yang sama juga demikian menggurita di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang saat ini dipimpin oleh Irjen (Pol) Firli Bahuri. Firli merupakan pejabat polri aktif yang dipilih Komisi III DPR RI, dan salah satu komisioner KPK yang semangat menyetujui revisi UU KPK. Ia ditetapkan sebagai ketua KPK ditengah isu-isu kontroversi yang mencuat dan penolakan keras dari banyak pihak mengenai dirinya.
Dengan dalil yang mengada-ada, lembaga anti rasua ini dituduh sebagai sumber kekacauan ekonomi dan instabilitas iklim investasi di Indonesia. Sehingga itu Undang-Undang No. 30 tahun 2002 yang mengatur tentang KPK harus direvisi, sehingga kewenangannya dapat dikontrol dan dapat dikendalikan.
Artinya, semua pimpinan lembaga Legislatif dan Eksekutif berasal dari kamar yang sama, yaitu kamar PDIP, kamar Partai Koalisi, dan kamar pendukung penguasa. Relasi dari tiga lembaga ini disebut sebagai relasi oligarki politik kaki tiga. Yang dibentuk untuk “mengamankan” seluruh kebijakan pemerintah periode penutup. Akibatnya, fungsi-fungsi kontrol, pengawasan, kritis, dan watch dog legislatif sebagai lembaga representasi langsung dari rakyat akan tumpul.
Relasi kekuasaan dan koalisi politik yang dibangun Jokowi, Megawati (PDIP), Bamsoet (Golkar/MPR), Puan (DPR), La Nyala (DPD), dan Firli (KPK), menjadikan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas menjadi “alat stempel” atas seluruh kebijakan presiden. Selain itu, relasi yang dibangun ini bukanlah disebut sebagai “koalisi politik”, melainkan pada hakikatnya adalah “persekongkolan politik”.
Dalam persekongkolan demokratisasi akan tersendat, bahkan perlahan akan mati. Sebab pada substansinya politik yang dibangun bukanlah politik untuk memajukan demokrasi, mensejahterakan rakyat, membangun negara, melainkan apa yang disebut Amin Rais sebagai low politics (politik rendahan), yaitu semata-mata demi kekuasaan, ekonomi dan populisme semu.
Sebenarnya, jika kita merujuk kembali pada sistem pembagian tiga kewenangan dan kekuasaan negara (Trias Politica) yang digagas Montesquieu dalam “The Spirit of Low” (1990), adalah agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu lembaga atau individu tertentu yang berpotensi pada abuse of power, dan tercipta check and balance.
Lebih lanjut Montesquieu mengatakan, ketika kekuasaan ketiga lembaga tersebut dikuasai oleh satu orang atau majelis, maka kebebasan akan hilang. Sebab mereka akan membuat atau mengarahkan orang atau lembaga tersebut untuk membuat aturan yang otoriter, dan melaksanakan dengan cara otoriter. Maka kebebasan akan terhalang apabila tidak ada pemisahan yang sempurna, dan apabila ketiga lembaga itu punya “relasi oligarkis”, maka kehidupan dan kebebasan warga negara pasti akan berada dibawah pengaruh otoriter.
Dalam kerangka ekonomi politik, situasi ini memperlihatkan adanya upaya transformatif oligarki yang berusaha merebut ruang-ruang demokrasi rakyat, untuk mempertahankan dan melindungi kerajaan bisnis, ekonomi dan kekuasaan mereka di era reformasi setelah tertumbangkan di masa orde baru. Mereka secara detil sulit untuk diidentifikasi, tapi sifat dan cara kerja mereta dapat dideteksi sunjeknya.
Sifat dan cara kerja mereka kata Jeffrey A. Winters dalam bukunya “Oligarki” (2011), bukan hanya sebatas “kekuasaan minoritas pada mayoritas,” tetapi yang lebih utama menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan adanya ketidaksetaraan kekuasan politik. Kondisi inilah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini. Semoga Jokowi dapat memperbaikinya kembali.
Penulis: Al Farisi Thalib (Direktur Indonesia Political Studies).