Jakarta, lontar.id – Sebagai mantan Anggota DPRD Surakarta tahun 1997-1999, Saya hendak menyampaikan pernyataan terkait polemik tidak berlakunya revisi UU KPK berkenaan dengan tidak terpenuhinya mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Sebagaimana diketahui revisi UU KPK terdapat kesalahan penulisan yang substansi namun oleh Pemerintah dan DPR hanya dianggap Thypo yaitu persoalan usia 50 tahun, dalam kurung tertulis empat puluh tahun, yang kata anggota DPR tertulis lima puluh tahun (Pasal 29 Ayat e).
Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka “50” atau huruf “empat puluh” dengan formasi :
“50 ( empat puluh )” maka yang berlaku menimbulkan dua makna yanh berlaku yaitu “50” atau “empatpuluh”, dengan demikian yang seharusnya dirubah adalah angkanya menjadi “40” jika yang dianggap benar adalah yang tertulis huruf “empat puluh”. Dengan demikian hal ini bukan sekedar kesalahan thypo, namun kesalahan substantif.
Dikarenakan kesalahan substantif maka cara pembetulan harus memenuhi persyaratan yaitu dengan mengulang rapat paripurna DPR, produk rapat paripurna hanya dirubah dengan rapat paripurna. Koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan Revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum.
Dalam azas bernegara termasuk azas hukum berlakunya Undang-Undang apabila terjadi perubahan maka harus dengan cara yang sama atau sederajad.
Hal ini pernah berlaku pada kesalahan penulisan putusan Kasasi Mahkamah Agung perkara Yayasan Supersemar “tertulis 139 juta” yang semestinya “139 milar”. Atas kesalahan ini tidak bisa sekedar dikoreksi dan membutuhkan upaya Peninjauan Kembali ( PK) untuk membetulkan kesalahan penulisannya.
Disisi lain hingga saat ini belum terbentuk Alat Kelengkapan DPR termasuk Badan Legislasi ( Baleg ) sehingga koreksi yang dianggap thypo oleh DPR saat ini adalah juga tidak sah dikarenakan saat pengiriman revisi UU KPK saat itu oleh Baleg DPR.
Untuk memenuhi syarat sahnya revisi UU KPK setelah ada kesalahan penulisan “50” atau “empatpuluh” hanya bisa dilakukan apabila telah terbentuk Alat Kelengkapan DPR termasuk Baleg dan harus melalui rapat paripurna DPR, sepanjang hal ini tidak dilakukan maka revisi UU KPK adalah tidak sah.
Revisi UU KPK masih menyisakan masalah yaitu tidak kuorumnya kehadiran secara fisik anggota DPR karena nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya dihadiri 89 anggota, hal ini jelas2 tidak kuorum.
Juga masih ada permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK karena nyatanya Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR tidak membacakan secara utuh materi revisi UU KPK, padahal sebelum dimintakan persetujuan harus dibacakan secara utuh untuk menghindari kesalahan sebagaimana terjadi saat ini.
Oleh: Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.