Lontar.id– Sebagai perempuan yang berasal dari kampung dan hidup dengan petuah-petuah tetua yang sangat mensakralkan seksualitas, dalam hal ini keperawanan, saya tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari ajaran-ajaran itu sekalipun telah hidup di kota dan berbenturan dengan wacana-wacana yang me-wajarkan hal-hal demikian.
Di kota, saya berada dalam lingkungan yang menganggap keperawanan bukanlah yang utama dari perempuan. Meski demikian, saya pun tidak dapat se-terbuka itu membahas seksualitas. Ada rasa canggung dan enggan membahasnya secara terbuka. Mungkin saja karena sejak kecil, hal-hal semacam seksualitas hampir tidak pernah diobrolkan secara terbuka.
Semakin dewasa, saya semakin sadar membutuhkan pembelajaran demikian. Tidak sulit mendapatkanya. Saya dapat belajar dari buku, internet, dan guru.
Dalam perjalanan mencari itu, saya banyak belajar justru dari kitab-kitab lama, misalnya melalui kita persetubuhan suku Bugis, yang dikenal dengan kitab Assikalaibineng.
Masyarakat Bugis sesungguhnya sangat terbuka membahas seksualitas. Dalam kitab itu, orang-orang dahulu dengan lugas menjelaskan secara detail seperti apa membangun hubungan intim antara suami-istri.
Kitab Assikalaibineng mengajarkan tata cara membangun hubungan intim tanpa melepaskan kesakralannya. Orang-orang dahulu percaya, ritual persebadanan harus dilakukan dengan sadar dan melalui ritual khusus.
Baca Juga:Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Setidaknya, ada dua hal yang saya baca dari bagaimana orang-orang dahulu dan masyarakat urban memandang seksualitas. Dalam masyarakat Bugis, mereka memang mengharuskan pembelajaran seksualitas utamanya sebelum menikah. Di kampung, nenek saya pasti akan mengajarkan setiap cucunya, baca-baca atau mantra yang harus digunakan sebelum melakukan hubungan intim.
Para tetua bahkan mengajarkan treatment khusus yang harus diberikan kepada istri selepas bersebadan. Ada pembelajaran khusus agar kelak saat proses melahirkan istri tidak terlalu kesakitan.
Ilmu-ilmu seksual dalam masyarakat Bugis dibahas agar laki-laki dan perempuan mendapatkan kehidupan baru dari melakukan hubungan intim. Para orang tua di kampung mengajarkan kita jika hubungan badan bukan sekadar mendapatkan kesenangan seksual, melainkan dari hubungan itu akan lahir manusia baru, dengan kata lain, ada semesta baru.
Melalui pemahaman itu, saya menjadi mengerti mengapa orang tua di kampung sangat mensakralkan seksualitas. Mereka bukannya tidak ingin mengobrolkannya, melainkan pembahasan yang seperti itu harus “benar-benar” diobrolkan bukan sekadar obrolan “sambil lewat”.
Di ruang urban tentu saja perempuan yang perawan ataupun tidak perawan (dalam konteks belum melalui ikatan pernikahan) dianggap setara. Alat-alat khusus seperti sex toys diperdagangkan. Siapapun berhak memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan jalan apapun. Itu hak istimewa setiap individu.
Di kampung ternyata, seksualitas bukanlah tentang kesenangan. Masyarakat bugis melalui kitab Assikalaibineng mengajarkan keturunannya bahwa melalui hubungan intim ada satu proses kehidupan baru dan oleh karena itu setiap manusia harus menghargainya.