Sudah banyak yang berubah setelah Pemimpin Adat Kajang, Ammatoa Puto Cacong meninggal, lalu diganti oleh Puto Palasa. Saya mewawancarai masyarakat Kajang sekitar beberapa bulan yang lalu.
Jakarta, Lontar.id – Saya adalah orang Kajang, di Desa Kassi. Orang-orang menyebutnya Kajang Kassi. Ambigu jika menyebut orang Kajang saja, sebab jika orang yang paham, pasti akan menyelidik “di Kajang mana?”
Sudah banyak yang berubah. Sewaktu kecil, jika pulang ke kampung, saya tidak pernah menginjakkan kaki di Tanah Tua atau Tana Toa, desa adat yang mewajibkan warganya memakai pakaian hitam-hitam itu.
Untuk mengetahuinya, karena saat itu belum mudah mendapatkan informasi, saya bertanya pada kakek saja. Kakek saya akrab dengan Puto Cacong, dan warga lainnya.
Ia bilang, Kajang itu sakral. Untuk memasukinya saja orang harus jalan kaki berkilo-kilo. Maklum, saat poros masuk Allu hingga ke Kajang Kassi, waktu itu jalanan masih rusak parah.
Hal itu juga dibenarkan Daeng Juma, seorang warga adat yang sempat saya wawancarai. Katanya, jalanan masuk dulu belum bagus. Orang harus berjalan jauh untuk masuk ke desa adat.
Sekarang, kenyataannya, jalanan masuk ke desa adat sudah dipermantap. Aspalnya mulus dan lebar. Mulai dari poros Tanete hingga masuk ke depan sekolah dasar persis di mulut pintu pendopo desa adat.
Kesakralannya juga perlahan surut. Dulu, untuk menatap pemimpin adat, masyarakat biasa sungguhlah malu. Bahkan, untuk rumah Ammatoa saja, Dg Juma enggan melihat ataupun menunjuknya.
Sekarang orang-orang sudah memberanikan diri. Bersama Daeng Juma, diterangi beda Bohe Amma Cacong, atau Puto Cacong. Pemimpin Kajang sebelum Puto Palasa.
“Dulu kalau Bohe Cacong keluar sekadar ingin jalan-jalan melihat lingkungan Kajang, mata masyarakat tak berani melihatnya. Kami semua takut. Kami hormati beliau. Dulu, pembangunan belum semegah ini. Dulu belum ada aspal, dan jalan masih rusak.”
Pembangunan itu politis. Perlahan-lahan, masyarakat Kajang sudah bisa menerima teknologi dan pembangunan yang dicanangkan pemerintah kabupaten juga provinsi.
Bahkan, pejabat-pejabat yang bertarung dalam kontestasi politik, biasanya datang ke Kajang hanya untuk sekadar meminta masukan dan doa-doa dari pemimpin adat.
Seperti yang dilakukan pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Andi Mudzakkar. Tentunya, ia tidak langsung masuk. Ia mengambil penghubung yang sudah tersohor namanya di Kajang, yakni Kahar Muslim.
Selain itu, ada juga beberapa caleg yang menegakkan balihonya di depan pendopo saat akan masuk ke daerah adat Kajang. Sungguh, ini suatu yang tidak lazim dilihat, sebab desa adat pernah terbelakang dan masyarakatnya masih konservatif.
Baca juga: Kajang: Mereka yang Digempur Modernisasi
Ammatoa Melek Politik?
Dalam jurnal yang ditulis Moh Ilham A Hamudy berjudul Perselingkuhan Politik Ammatoa, yang diterbitkan UII atau Unisia, dituliskan kalau sesiapa yang dekat dengan Ammatoa, otomatis merasa memiliki lumbung suara.
Semakin hari, Pemimpin Kajang ditulisnya semakin pandai berpolitik. Apalagi ia menyebutkan satu kasus, yakni dualisme kepemimpinan desa adat yang jadi rebutan Puto Palasa dan Puto Bekkong.
Akhirnya, karena kekisruhan itu, beberapa kebijakan dari pemerintah tumpang tindih. Seperti soal pengelolaan daerah adat. Puto Bekkong dituding memanen sawah adat di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang
Sebab itulah, pada Sabtu siang 18 Agustus 2007, belasan warga komunitas adat Kajang, dipimpin salah seorang anak kandung Puto Palasa dan tokoh pemuda Kajang, mendatangi rumah jabatan Wakil Bupati Bulukumba.
Padahal, dalam musyawarah antara Puto Palasa dan Puto Bekkong yang dihadiri seluruh pemangku adat Kajang dan difasilitasi oleh Bupati Bulukumba serta unsur muspida, April 2007 silam, diputuskan bahwa untuk sementara waktu pengelolaan dan penggunaan harta adat, termasuk sawah itu, dalam penguasaan pemerintah kecamatan.
Menurut warga yang mengadu, apa yang dilakukan anggota kelompok Puto Bekkong melanggar kesepakatan hasil musyawarah. Hal itu menimbulkan kemarahan warga Kajang dari kelompok Puto Palasa.
“Kami datang menemui wakil bupati untuk meminta saran dan solusi, karena ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik,” ujar tokoh pemuda Kajang itu, seperti dikatakan Kabag Kesbang Bulukumba, usai mendampingi Wakil Bupati menerima keluhan warga tersebut.
Menurut Kabag Kesbang, masalah itu telah diselesaikan pada 20 Agustus 2007, melalui rapat tripika Kecamatan Kajang. Wakil Bupati memerintahkan Camat Kajang untuk memfasilitasi pertemuan tripika dan mencari solusi.
Perseteruan antara Puto Palasa dan Puto Bekkong sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Dalam prosesi pemilihan Ammatoa, keduanya sama-sama mengaku sebagai Ammatoa yang mendapat restu.
Tak ayal, saat mengambil kebijakan, hal itu rentan membuahkan konflik. Sebab dulunya, salah satu dari pemimpin adat jika tak suka dengan kebijakan yang dikeluarkan pemimpin adat satunya, maka para pengikut keduanya siap mengangkat parang untuk membela pemimpinnya masing-masing.
Akhirnya, pertanyaan soal bagaimana caranya ada dua matahari di desa adat Kajang, sebab selama ini tak pernah ada dualisme, serta keuntungan apa yang didapat ketika menjadi Ammatoa tak pernah terjawab.
Bahkan pelan-pelan, teori yang dikemukakan Bailey dalam Stratagems and spoils: A social anthropology of politics, kian terang. Kebanyakan dari kita dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri, acap mencoba mengingkari ikatan norma untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.
Benarkah Kajang-ku sudah tidak hitam lagi? Benarkah kesakralannya kian hari kian susut akibat perkembangan zaman yang semakin modern, dan masyarakatnya yang kepalang pragmatis?