Jakarta, Lontar.id – Sanksi massa di Media Sosial (Medsos) terhadap Bos BukaLapak, Ahmad Zaky bukanlah kasus baru di Indonesia. Ahmad Zaky hanya korban lanjutan dari rentetan kasus lainnya–hanya karena sebuah pernyataan sensitif yang dikait-kaitkan dengan momen Pilpres. Kata ‘presiden baru’ pada akhir cuitannya di twitter akhirnya berbuah polemik.
Cuitan Ahmad Zaky memang tidak keseluruhan benar. Program industri 4.0 yang disebutnya sulit terwujud jika anggaran riset terlalu rendah jika dibanding negara lainnya, termasuk Singapura dan Malaysia. Persoalan yang muncul kemudian adalah, Zaky tidak mencantumkan sumber kutipan dan mengabaikan tahun rujukan, ditambah kata ‘presiden baru’ di penutup cuitannya.
“Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (2016, in USD) 1. US 511B 2. China 451 B 3. Jepang 165B 4. Jerman 118B 5. Korea 91B 11. Taiwan 33B 14. Australia 23B 24 Malaysia 10B 25. Spore 10B 43. Indonesia 2B. Mudah2an presiden baru bisa naikin,” tulis Zaky beberapa hari lalu.
Meski pada akhirnya cuitannya itu telah dihapus. Namun, cuitan tersebut terlanjur dikecam para pendukung Capres Jokowi dengan menggemakan tagar #UninstallBukalapak. Kubu Prabowo yang jadi lawan Jokowi juga ikut mengumbar tagar tersebut.
Baca Juga: Achmad Zaky, R&d, dan BukaLapak-nya
Kegaduhan yang timbul mau tak mau membuat Zaky harus menyampaikan permintaan maaf. Selain mengungkapkan melalui cuitannya, Zaky menyampaikannya secara langsung saat bertemu dengan Jokowi di Istana Merdeka, Sabtu (16/2/2019).
Jika saja saat ini bukanlah momentum Pilpres, maka pernyataan angka, 1, 2, dan presiden baru takkan melahirkan persepsi berbeda dari banyak orang.
Sensitif-nya pernyataan angka 1 dan 2 juga pernah dialami Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara. Maksud Rudiantara membuka voting untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan memilih desain 1 dan 2, ternyata dimaknai berbeda sebagai nomor urut Capres oleh salah satu ASN.
Pada video yang ramai menyebar, Rudiantara jelas menampakkan kekecewaanya karena maksudnya memilih desain dikaitkan soal Pilpres. Kekecewaan Rudiantara melahirkan pernyataan emosional “yang gaji kamu siapa?”, sehingga menjadi ‘makanan’ segar bagi para pasukan cyber capres untuk memainkan propaganda.
Analis media sosial dan pendiri Drone Empirit, Ismail Fahmi telah mengungkap keberadaan pasukan cyber dua kubu Capres-Cawapres di medsos. Keberadaan para pasukan ini jelas untuk mengcounter isu negatif maupun mengangkat pamor para jagoan mereka.
Hanya satu misi pasukan ini, trending topic. Makanan mereka jelas adalah blunder atau sisi negatif dari kubu lawan. Isu lalu digoreng dan disebar oleh akun asli dan robot. Korban propaganda para pasukan ini jelas adalah pengguna medsos lainnya.
Baca Juga: Khofifah Parawansa dan Kaitannya dengan Ulama Syekh Yusuf
Mereka yang tak digaji, dan tak tahu ada misi trending yang dikejar oleh para pasukan cyber–lalu ikut menjadi influencer karena termakan isu atau karena juga punya kepentingan yang sama. Dan yang paling sedih adalah mereka yang ikut-ikutan meramaikan, tanpa tahu jika mereka diarahkan dan hanya dimanfaatkan.
Inilah risiko dari sebuah pernyataan di tengah momentum pesta demokrasi. Tak peduli apapun profesi anda, netral atau pun berpihak, jika anda berani menyebut angka 1, 2, dan presiden baru, maka bersiaplah menerima serangan psikologis hingga berdampak ke profesi anda.
Zaky yang Melampaui Cara Berpikir Politisi Kita
Sebagai seorang CEO dan pendiri e-commerce BukaLapak, Ahmad Zaky jelas berkontribusi besar terhadap perkembangan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja di Indonesia. Seiring dengan menanjaknya usaha startup miliknya yang saat mulai dibangun hanya bermodal seadanya.
Kini, perusahaan asli anak bangsa itu telah berstatus unicorn dengan valuasi US$ 1 Miliar. Nilai BukaLapak itu setara dengan Rp14 Triliun jika berdasarkan kurs Rp14.000. BukaLapak bahkan tak berhenti berinovasi dengan membuka laboratorium riset di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keberadaan laboratorium riset untuk mengembangkan kecerdasan buatan itu demi melahirkan startup baru lainnya guna pengembangan industri kecil, menengah, hingga berstatus unicorn selanjutnya.
Langkah berpikir seorang Zaky dengan BukaLapak-nya jelas telah melampaui cara berpikir massa pendukung capres dan politisi kita. Saat gelombang massa terbelah, dan caci maki hingga boikot produk usaha bergelora di twitter, kontribusi besar seseorang akan terabaikan hanya karena angka 1, 2 dan kata presiden baru yang sensitif itu.
Baca Juga: Masihkah Sepakbola Kita Tak Ramah Perempuan?
Sanksi membabi-buta ini juga sangat disesalkan oleh pendiri Drone Empirit, Ismail Fahmi. Persoalan ini diungkapkan Fahmi lewat artikel analisisnya yang berjudul ‘Politik Telah Meng-uninstall Karya Anak Bangsa’.
“Nah, kini kubu 01 sedang menghajar Achmad Zaky dan Bukalapak melalui #UninstalBukalapak, karena satu twit Zaky yang mendambakan naiknya perhatian pemerintah kepada riset, berharap kepada presiden baru nanti. Mereka tersinggung, menganggap Zaky tidak tahu berterimakasih.”
Padahal lanjut Fahmi, yang dimaksud presiden baru bisa saja presiden 2019-2024. Siapapun dia.
Menurut Fahmi, Zaky jelas tidak akan berharap budget riset dinaikkan oleh presiden lama, karena masa jabatan presiden 2014-2019 tinggal menghitung hari berakhir.
“Saya sering dengar cerita perjuangan mereka yang membangun startup hingga mulai mendapat funding, dan mulai jadi unicorn. Bisa ditanya, lebih banyak peluh dan airmatanya, atau dukungan dan kemudahan dari pemerintah? Tanya sendiri, saya ndak akan bilang. You will understand,” tulis Fahmi.
“Kini tinggal Bukalapak yang porsi nasionalnya masih tinggi, dibanding unicorn yang lain. Dan ini pun akan dimatikan oleh salah satu kubu, karena tersinggung secara politik.”
Lalu kata Fahmi, dengan tagar #UninstalBukalapak, sebenarnya pesan apa yang ingin disampaikan oleh kubu 01 kepada para millenial dan enterpreneur muda yang telah berjuang membangun unicorn-nya (sendirian)?
“Apakah millenial dan enterpreneur muda makin simpati dengan aksi ini?.Mikir!,” tulis Fahmi di akhir tulisannya.
Aturan Hukum kita di Indonesia jelas memposisikan hakim di pengadilan sebagai pengambil keputusan bersalah tidaknya seseorang. Namun, pantaskah pengadilan massa menjadi hakim hanya karena sebuah kritik positif? Inilah buah dari sebuah proses demokrasi di Indonesia saat ini.