Lontar.id – Nama laksamana Malahayati cukup mashyur di Indonesia. Perjuangan wanita muslimah asal Aceh ini begitu besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarah, Malahayati dikenal sebagai laksamana perempuan pertama di dunia yang berhasil menaklukkan armada angkatan laut Portugis dan Belanda pada abad ke-16 Masehi.
Malahayati merupakan pemimpin armada laut dengan 2000 pasukan Inong Balee atau lebih dikenal dengan pasukan janda. Pasukan janda terbentuk dari para istri pejuang yang wafat di medan perang. Malahayati bersama pasukan Inong Balee berhasil menaklukkan Belanda pada 11 September 1599. Salah satu pemimpin Belanda saat itu, Cornelius de Houtman bahkan tewas di ujung rencong Malahayati.
Baca Juga: Khofifah Parawansa dan Kaitannya dengan Ulama Syekh Yusuf
Ternyata, aksi heroik seorang perempuan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tak hanya milik Malahayati seorang. Ada banyak pejuang perempuan yang tak kalah hebatnya dengan kaum laki-laki dalam memimpin pasukan. Salah satunya berasal dari Kerajaan Gowa. Dialah I Fatimah Daeng Takontu yang merupakan putri Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin. Ada persamaan antara Laksamana Malahayati dengan I Fatimah dan pasukannya. Keduanya merupakan perempuan yang juga pemimpin pasukan perempuan.
Dijuluki Garuda Betina dari Timur
Jika Sultan Hasanuddin dijuluki oleh Belanda “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya. Maka sang putri, I Fatimah digelari oleh seorang penyair Belanda “Garuda Betina dari Timur”. Julukan yang diberikan itu menurut salah seorang budayawan Gowa Djufri Tenribali, bukan karena Fatimah berasal dari putri bangsawan, tetapi karena sifat ksatrianya yang menonjol. Ia menginginkan penjajahan dimusnahkan, bahkan tidak segan-segan I Fatimah membantu ayahnya, Sultan Hasanuddin pada setiap peperangan.
Baca Juga: Soal Kampung Mualaf di Pinrang
Dalam resensi buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”, Fatimah lahir dari buah pernikahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin dengan gadis bangsawan dari Sanrobone, I Daeng Takele. Putri mereka yang lahir pada tanggal 10 September 1659, diberi nama I Fatimah Daeng Takontu Karaeng Campagaya.
I Fatimah sangat dekat dengan ayahnya, bahkan setiap Sultan Hasanuddin memberikan latihan pada prajuritnya, Fatimah selalu ikut. Sehingga tidak heran kalau Fatimah mewarisi jiwa patriotik ayahnya yang juga menguasai ilmu bela diri.
Keinginan Fatimah untuk berjuang mengusir Belanda diawali saat sang ayah, Sultan Hasanuddin menandatangani perjanjian Bungaya.
Baca Juga: Gubernur Baru Jatim dengan Nama Sulsel yang Melekat
Perjanjian damai tersebut dianggap menguntungkan Belanda dan membuka kesempatan kolonial untuk melakukan monopoli.
Baca Juga: Membaca Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
Perjanjian tersebut sontak mendapat penolakan dari sejumlah bangsawan Gowa dan Bugis. Di antaranya anak Sultan Hasanuddin, I Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Karunrung yang menyatakan sikap penolakannya yang keras dan terbuka.
Fatimah Pimpin Pasukan Bainea
Penolakan terhadap perjanjian Bungaya lalu menimbulkan gejolak di internal Kerajaan Gowa. Putra Sultan Hasanuddin, Manninrori Karaeng Galesong, bersama Karaeng Bontomarannu lalu berangkat ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan mereka. Sedangkan Karaeng Karunrung disarankan tetap tinggal di Gowa, memimpin sisa-sisa laskar Gowa yang masih melanjutkan perlawanan.
Baca Juga: Kitab Centhini dalam Falsafah Persetubuhan
Fatimah yang sejak awal mendengar semua kesepakatan itu, dengan penuh semangat meminta pada ayahnya, Sultan Hasanuddin untuk menyusul sang kakak ke Pulau Jawa.
Keinginan Fatimah ternyata belum mendapat persetujuan. Fatimah awalnya hanya menyaksikan rombongan yang dipimpin Karaeng Bontomarannu bersama 800 orang prajuritnya berangkat ke Banten. Rombongan itu tiba tanggal 19 Agustus 1671 di Banten, disusul La Setiaraja dari Kerajaan Luwu dan Karaeng Galesong pada tanggal 16 September 1671 dengan membawa 20.000 orang prajurit.
Kedatangan putra pejuang dari Sulawesi di Banten, ternyata mendapat sambutan baik dari Sultan Banten, karena sebelumnya, salah seorang putra Makassar telah lama dijadikan mantu yakni, Syekh Yusuf yang sudah ikut berjuang bersamanya. Tekad yang kokoh dari Fatimah akhirnya berbuah hasil. Sang ibu lalu memberi izin dan membekalinya dengan sebilah keris.
“Keberangkatan terjadi beberapa bulan setelah Sultan Hasanuddin wafat. I Fatimah diikuti oleh para ratusan pasukan elit menuju Banten. Di antara pasukan yang dipimpin I Fatimah, terdapat banyak wanita yang dikenal sebagai Pasukan Bainea (pasukan wanita), yaitu semacam srikandi membantu perjuangan raja Gowa,” seperti yang ditulis dalam buku “Profil Sejarah, Budaya, dan Pariwisata Gowa”. Buku tersebut ditulis oleh Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla, Zainuddin Tika, dan mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL).
Dijelaskan, saat tiba di Jawa, I Fatimah bergabung bersama semua kekuatan pasukan, dan menyusun strategi penyerangan. Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu bertugas ke Jawa Timur membantu perjuangan Trunojoyo. Penyerahan pasukan Kraton Plered pada 12 Juli 1677 membuat Benteng Kapper berhasil mereka duduki.
Baca Juga: Mengapa Islamisasi di Toraja Gagal?
Sedang di Banten Pasukan Syekh Yusuf dan Pasukan I Fatimah ikut membantu raja Banten, Sultan Ageng Titrajasa, melawan putranya Sultan Haji yang berpihak pada Belanda. Perlawanan pasukan Syekh Yusuf dan pasukan Bainea yang dipimpin Fatimah membuat kewalahan Belanda.
Berkali-kali Belanda berusaha untuk melakukan penangkapan terhadap Syekh Yusuf dan Fatimah, namun belum berhasil. Syekh Yusuf tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), dan kemudian dipindahkan ke Tajung Harapan, Afrika.
Melihat kondisi yang kurang menguntungkan menghadapi Belanda, akibat kekalahan pasukan Banten yang bersekutu dengan pasukan Kerajaan Gowa, Fatimah bersama pasukan Baiena lalu kembali ke Gowa dan meneruskan perjuangannya melawan Belanda. Dalam suatu pertempuran, Fatimah bersama pasukannya menyerang Belanda dengan berani. Dalam pertempuran tersebut Fatimah gugur di tanah kelahirannya.
Baca Juga: Mengapa Mitos Soal Syekh Yusuf Terus Mengalun di Makassar?
Demikianlah, I Fatimah Daeng Takontu wafat sebagai pahlawan yang bersedia mengorbankan jiwa dan raganya dalam membela kedaulatan tanah air dari cengkeraman Belanda. Ia merupakan cermin sejarah yang patut dikenang, dan diteladani sebagai simbol kaum wanita tak hanya bagi masyarakat Gowa, tetapi bangsa Indonesia pada umumnya. Perjuangan Fatimah sekaligus diharapkan ikut menandai peletakan dasar perjuangan emansipasi wanita di masa-masa selanjutnya.