Masyarakat Bugis yang awalnya memeluk kepercayaan lokal sejak kedatangan Islam mulai mengalami perubahan besar dalam kehidupan beragama, pemerintahan, serta sosial dan kemasyarakatan. Diterimanya Islam di Sulawesi Selatan secara cepat dan massif tidak terlepas dari strategi yang disusun para penyebarnya.
Hal itu cukup menarik perhatian karena islamisasi suku Bugis tergolong sukses di tengah masyarakat yang selain telah memiliki kepercayaan yang telah lama dipraktikkan dalam kehidupannya, juga dikenal sebagai masyarakat yang memiliki karakter yang tegas. Akhmar dalam bukunya Islamisasi Bugis menegaskan jika salah satu cara mereka menyampaikan misinya adalah dengan menggunakan warisan sastra Bugis kuno yang dibuktikan dengan adanya unsur Islam dalam naskah-naskah I Lagaligo.
Pelras menguraikan bahwa naskah La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama enam generasi turun-temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pula-pula di sekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke-20 Masehi, naskah La Galigo secara luas diyakini oleh masyarakat Bugis sebagai suatu kitab sakral dan tidak boleh dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu
Akan tetapi, terdapat beberapa perubahan mendasar dalam versi I La Dewata Sibawa I Attaweq di mana unsur Islam sangat kuat di dalamnya. Misalnya, dalam kisah asal usul manusia dan utamanya yang terkait dengan teologi. Hal itu menjadi penanda permulaan yang nyata tentang Islam di kalangan orang Bugis.
Kehadiran unsur-unsur baru tersebut ditandai dengan adanya doa-doa dalam bahasa Arab, kalimat-kalimat tauhid atau penyebutan Asmaul Husna, penghubungan silsilah Batara Guru dengan Nabi Sulaiman as, serta penyebutan nama-nama nabi yang dikenal dalam dunia Islam.
Islamisasi Bugis diduga terjadi pada paruh abad ke-17 yang sebelumnya didahului oleh Kristenisasi selama 40 tahun di Sulawesi Selatan, namun dianggap gagal karena tidak adanya peleburan dari dua kebudayaan tersebut, budaya lokal dan Kristen. Yang mengejutkan justru saat Islam mulai datang dan tidak butuh waktu lama hingga ajaran tersebut dapat diterima.
Meski sukses dalam melakukan penyiaran Islam, tetap saja para penyebarnya mengalami kesulitan di awal mengingat kepercayaan tersebut telah ada sejak ribuan tahun. Akhmar menjelaskan salah satu cara meleburkan ajaran Islam dalam suku Bugis adalah dengan menyamakan konsepsi ketuhanan dalam Islam dengan kepercayaan lokal.
Konsepsi Tuhan yang Maha Esa atau keesaan Tuhan diperkenalkan dengan mempergunakan istilah yang telah dikenal oleh masyarakat sebelum masuknya Islam, yaitu Dewata Seuwae (Dewata yang Tunggal). Mungkin Datuk Sulaiman yang merupakan penyebar Islam di Kerajaan luwuq melihat konsep itu memiliki persamaan.
Dalam kepercayaan lama meyakini adanya Dewata Seuwae sedangkan dalam ajaran Islam adalah Allah SWT. Demikian pula tentang sifat-sifat Tuhan dalam kepercayaan masyarakat lama bahwa Dewata Seuwae merupakan dewa yang tunggal, tidak berayah, dan tidak beribu, tidak makan, dan tidak minum, dan maha kuasa atas segala sesuatu.
Sifat-sifat Tuhan yang demikian terdapat pula dalam konsep Ketuhanan Islam, bahkan jauh lebih lengkap. Tauhid yang diajarkan oleh Datuk Sulaiman adalah sifat-sifat Allah, yang terdiri dari dua pilih sifat wajibnya, dua puluh sifat mustahilnya, dan satu sifat harusnya, yang tercermin dalam kedua kalimat syahadat.
Dialog-dialog mngenai Ketuhanan tersebut senantiasa digalakkan di kalangan pejabat kerajaan hingga menciptakan keserasian. Usaha itulah yang kemudian menjadi titik balik dari diterimanya Islam di Sulawesi Selatan sampai hari ini.