Kedatangan Islam di kalangan orang Bugis secara langsung memberi dampak pada kehidupan para bissu yang pada mulanya adalah penjaga dari kepercayaan lokal masyarakat Bugis. Namun, kehadiran budaya baru ke dalam budaya yang sudah mapan tersebut tidak meruntuhkan nilai dan tanpa menghilangkan jati diri asal.
Dalam pertemuan dua budaya baru, memungkinkan terjadinya ketegangan. Tetapi dalam kasus pertemuan agama Islam dan budaya Bugis justru yang terjadi adalah perpaduan yang saling menguntungkan.
Hadirnya Islam tidak menghilangkan peranan bissu sebab bagi masyarakat Bugis ritual adat memiliki peranan yang sangat penting. Olehnya dalam konteks tersebut bissu tidak bisa dengan mudah tersingkirkan.
Transformasi identitas bissu dapat dilihat dari segi keyakinan dan pandangan hidupnya. Mereka mulai menyesuaikan dengan ajaran Islam dan menyamakan Tuhannya (Dewata Sewwae) dengan ketahauhidtan dalam agama Islam. Hal itu tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari strategi para bissu agar dapat bertahan dan melanjutkan kehidupannya sebagai orang yang dihormati dan memiliki posisi yang sakral dalam struktur sosial masyarakat Bugis yang telah menganut ajaran Islam.
Baca Juga: Ketika Seseorang Ditakdirkan Menjadi Bissu
Sigeri yang merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yang memiliki jumlah bissu cukup banyak turut mengalami perubahan. Kedatangan Islam di Sigeri hampir bersamaan dengan diterimanya Islam secara resmi di Gowa-Tallo. Islam sendiri Sampai ke Gowa-Tallo diperkirakan sekitar tahun 1546-1565 pada saat raja Gowa ke-16 Tunipalangga. Raja Tonijallo sendiri sudah mendirikan mesjid untuk kalangan orang melayu di Mangalekana. Sekalipun demikian menurut Mattulada dua kerajaan besar yang kembar ini secara resmi memeluk agama Islam pada abad 16, tepatnya pada tanggal 9 November 1607.
Setelah kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam secara resemi, daerah-daearah lain seperti di Sigeripun mulai memeluk Islam. Kedatangan Islam di Sigeri ini menjadi cerita tersendiri bagi bissu, yang merupakan komunitas yang selama ini konsisten dengan tradisi Bugis-Kuno. Awal-awal kedatangan Islam, tidak menjadi problem yang pelik bagi komunitas bissu. Salah satu strategi yang dilakukan dalam menyebarkan ajaran Islam di suku Bugis adalah dengan mengedepankan pendekatan tasawuf yang bisa akomodatif dengan kepercayaan lokal, juga Islam saat itu dijalankan dengan negosisasi kultural oleh para penganjurnya. Islam misalnya tidak berdiri sendiri namun melebur dalam sistem Pangederreng. Sistem ini mengatur tatanan kehidupan masyarakat di Bugis-Makassar. Unsur Islam masuk dalam sistem ini disebut dengan sara (adat).
Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam semakin mengakar dan mulai menghambat pergerakan bissu. Masyarakat Bugis secara perlahan telah menanggalkan identitas asalnya tanpa disadari memengaruhi eksistensi bissu yang harus bertahan dalam situasi tersebut. Perubahan tersebut dapat dilihat dari sebagian upacara-upacara bissu diambil alih oleh puan kali (khali). Pelaksanaan upacara merekapun mulai disederhanakan. Misalnya, upacara mappaliki di Segeri yang dulunya (sebelum Islam datang) berlangsung selama 40 hari dan 40 malam, kemudian berubah menjadi 7 hari dan 7 malam.
Perkembangan selanjutnya dari proses Islamisasi Bugis mulai memunculkan beragam masalah yang lebih kompleks dan serius karena melibatkan berbagai kepentingan, tidak hanya insitusi agama tapi juga negara. Keinginan Kahar Muzakkar untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia dan ikut membentuk negara Islam memunculkan polemik yang mengorbankan para bissu. Sejak adanya gerakan DI/TII pada tahun 1950 yang diketuai oleh Kahar Muzakkar, seluruh praktik yang berseberangan dengan ajaran Islam mulai dimusnahkan salah satunya dengan menghilangkan para bissu.
Sementara itu, ketegangan yang terjadi antara pihak Kahar Muzakkar dan pemerintah Indonesia membuat posisi rakyat semakin terjepit. Pada masa itu rakyat takut pada gerombolan dan tentara, karena tentara membakar semua padi penduduk pedalaman agar tidak diambil oleh gerombolan. Sedang ketakutan pada gerombolan disebabkan karena mereka membunuh orang yang kedapatan masih melakukan upacara-upacara bissu atau menyembah berhala.
Masa tersebut disebut masa terkelam dalam kehidupan para komunitas bissu. Hal itu ditandai dengan gerombolan yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar melancarkan operasi penumpasan bissu yang disebut dengan operasi toba (operasi taubat) yang gencar terjadi pada tahun 1966.
Perlengkapan upacara ritual bissu dibakar dan ditenggelamkan ke laut dan tidak sedikit bissu mupun sanro (dukun) dibunuh. Gerombolan Kahar Muzakkar menganggap bahwa kegiatan bissu menyembah berhala, dan dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme, karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta pelakunya diberantas.
Jumlah bissu semakin sedikit setelah peristiwa pembantaian yang terjadi pada tahun 1966. Beberapa bissu yang berhasil meloloskan diri masih tetap mempertahankan ritual dan upacara adat meskipun ancaman dari negara masih berlangsung. Sementara itu, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa orde baru turut menyeret keberadaan bissu.
Mereka juga dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan syirik, dan dianggap penganut animisme (Said, 2016:73). Bissu yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau memilih mengikuti norma yang berlaku dalam sistem masyarakat. Dengan kata lain harus memilih gender yang telah disahkan di Indonesia, yakni laki-laki atau perempuan.