Lontar.id – Perjalanan ibadah saya di tanah suci kemarin membuat saya semakin mafhum mengapa jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahun mengalami peningkatan. Menunaikan ibadah haji dan umrah memang bukanlah sekedar perkara rukun Islam yang harus dilakukan oleh seluruh umat Islam di dunia. Keyakinan bahwa orang-orang yang telah menginjakan kaki di tanah suci utamanya setelah berhadapan dengan kakbah akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, diampuni segala dosa-dosanya, dan keistimewaan lain yang diyakini didapatkan orang-orang yang menjalankan ibadah di tanah suci.
Baca Juga: Menelusuri Perjalanan Haji di Nusantara dari Masa Ke Masa
Akan tetapi, bagi beberapa kelompok, ibadah haji tidak hanya bisa dilakukan di tanah suci (Makkah dan Madinah). Umat muslim yang tidak memiliki kapital ekonomi yang besar punya logikanya sendiri, pergi berhaji tak harus ke Makkah.
M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013) menyebut bahwa Sultan Agung, raja terbesar di Jawa pasca-Majapahit, memelihara kuasa simboliknya dengan cara mempertemukan dan mendamaikan keraton dan tradisi-tradisi Islami. Dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 29), problem akan pusat semesta ini menelurkan gagasan: Jika memang pusat kerajaan tidak bisa “merebut” kesakralan kota Mekah, kenapa tidak dibikin saja tempat yang bisa mewakili kota Mekah?
Pada 1930-an, muncul kepercayaan lokal yang yakin bahwa berziarah tujuh kali ke Masjid Demak (kini di Jawa Tengah) akan sama nilainya dengan naik haji ke Mekah (Henri Chamber-Loir dalam Encyclopedia van Nederlandch-Indie). Berdasarkan kepercayaan ini, setiap 10 hari antara tanggal 1 sampai 10 Zulhijah (bulan ke-12 tahun Hijriah), orang-orang akan berdatangan ke Demak untuk melakukan ziarah.
Para peziarah ini melakukan pelbagai macam ritual. Dari salat berjemaah dan mengaji di masjid sampai menziarahi makam-makam para sultan di masa silam, lalu ke makam Sunan Kalijaga. Karena begitu banyak orang yang datang, acara ini juga dimeriahkan dengan pasar malam di alun-alun Demak. Bahkan majalah Soeara Oemoem, terbit pada 1930, sempat mengusulkan ide gila: pindahkan saja kiblat salat dan pelaksanaan haji ke Masjid Demak.
Tidak hanya di pulau Jawa, di Sulawesi Selatan juga dikenal ritual haji yang berbeda yang disebut Haji Bawa Karaeng. Haji Bawa Karaeng muncul dari dua pokok tradisi, yakni: pertama, Gunung Bawa Karaeng yang berarti “Mulut atau Sabda Tuhan” diyakini sebagai tempat suci. Tempat bersemayamnya Tu Rie Arana atau To Kammayya Kananna (Yang Maha Berkehendak) yang memelihara kehidupan manusia di bumi. Dialah pemberi kebajikan sekaligus keburukan. Cara pandang itu telah membekas secara turun temurun dari moyang manusia Bugis-Makassar.
Kedua, perjalanan haji ke puncak Bawa Karaeng disebabkan oleh cerita seorang ulama yang bernama Yusuf, bergelar Syekh Yusuf Tuanta Salamaka. Diceritakan bahwa Yusuf yang juga seorang keturunan istana (dibesarkan oleh keluarga kerajaan) di Gowa-Tallo telah bertemu dengan para wali di Puncak Bawa Karaeng. Yusuf kemudian berguru dan mendapatkan Ilmu dari para Wali di sana, selanjutnya diperintahkanlah padanya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekah. Atas dasar itu, perjalanan haji melalui perintah wali ke Yusuf diyakini menjadi keterwakilan ibadah, sehingga banyak orang yang mengasumsikan bahwa untuk berhaji cukup ke Bawa Karaeng saja.
Selain itu, menurut Irfan Pallipui, salah seorang peneliti Haji Bawa Karaeng mengungkapkan alasan Puncak Bawa Karaeng menjadi titik atau puncak dari seluruh alliungang (perjalanan) behaji? Pertama, Syekh Yusuf adalah manusia Makassar-Bugis – bisa dikata, masa itu Islam belumlah mendapat tempat “nyaman” untuk diterima secara baik, karena masih kental dengan keyakinan agama lokal masyarakatnya.
Kedua, dalam keyakinan agama lokal masyarakat Makassar-Bugis (khususnya Agama Patuntung) menganggap bahwa Bawa Karaeng merupakan tempat bersemayamnya Tu Rie Arana atau Yang Maha Berkehendak.
Ketiga, tempat ketinggian, puncak gunung, merupakan tempat paling baik untuk bermustajab atau semedi dan berdzikir bagi kalangan sufi. Pendek kata, puncak Bawa Karaeng menjadi tempat paling representatif untuk mempertemukan ilmu ataupun hasrat dari kedua tokoh di atas.
Bawa Karaeng menjadi between line (garis antara) yang diingini oleh hasrat pengetahuan Datu’ Ri Panggentung dan hasrat pengetahuan yang ada pada Syekh Yusuf. Pada tahap inilah subjek mengalami hasrat Liyan sebagaimana Liyan sebagai hasrat, menjadikan subjek sebagai hasrat.
Bawa Karaeng sendiri merupakan nama gunung yang ada di Sulawesi selatan, tepatnya di Kabupaten Gowa. Gunung ini selain menjadi tempat pendakian komunitas penjelajah alam juga menjadi tempat berhaji. Pandangan demikian menjadikan Gunung Bawakaraeng semakin disakralkan oleh penganut agama lokal masyarakat Makassar-Bugis (khususnya Agama Patuntung) hingga saat ini.
Baca Juga: Kesaktian Orang Berhaji Zaman Dahulu. Apa Kabar Sekarang?