Lontar.id – Can muslim be a K-pop idol? Secara anonim pertanyaan ini hadir di situs internet tanya jawab (Quora.com) dan telah mengundang berbagai orang dari latar belakang sosial yang berbeda untuk berpartisipatif dalam debat tersebut.
Pertanyaan tersebut Selain menyasar tentang bagaimana kebijakan kualifikasi Industri K-pop menegosiasi protokol Islam dalam persoalan tampilan (dress code) dan gaya hidup. Pertanyaan ini juga merefleksikan bagaimana penerimaan komunitas muslim terhadap jagat lain? Dan sebaliknya, bagaimana penerimaan jagat lain terhadap komunitas muslim?
Tentu saja seorang perempuan muslim dapat menjadi Idola K-pop, atau apapun yang dicita-citakan-nya. Pertanyaan ini seolah-olah hadir dari indentitas yang resah antara menjadi seorang muslim taat dan kegemaranya secara terbuka terhadap musik K-Pop.
“Jika ada yang mampu menandingi dahsyatnya Islamisasi di Indonesia, maka K-pop adalah jawabanya”.
Di Indonesia, sebagaimana di negara Asia tenggara lainya, trend K-pop -dan budaya populer Korea Selatan lainya- telah dimulai sejak pertengahan tahun 2000-an dan makin menjamur dalam lima belas tahun terakhir.
Demam K-Pop bukanlah lagi barang baru di Indonesia. Popularitas K-pop bahkan telah mempengaruhi beberapa genre musik pop lokal. Mega-Hit “Alamat Palsu” yang dinyanyikan Ayu Ting-Ting adalah korean-dut, kombinasi dari karekteristik musik dangdut dan estetika visual K-pop. Banyak di antara para muslimah Indonesia tumbuh besar di temani sorak-sorak lantunan musik K-Pop. Di saat yang sama mereka juga sedang menyandung predikat generasi muslim mutakhir yang tumbu besar di masa puncak Islamisasi. Mereka adalah generasi santri yang harus berhadapan dengan dunia yang semakin kosmopolit.
Fenomena ini melahirkan para fangirl K-pop berhijab, yang berusaha menegosiasi pakaian Islami mereka dengan ekspresi terbuka dalam hasrat mereka mengidolakan idol K-pop. Pada dasarnya mereka tidak menemukan kejanggalan atau pertentangan antara menjadi seorang muslimah yang taat dan menjadi anggota aktif dari sebuah kelompok penggemar.
Sungguh menarik melihat para muslimah Indonesia terjalin dalam sebuah subkultur baru, beberapa dari mereka mampu meniru tari hip-hop yang sulit dan lihai dalam mem-vokalkan lirik hangul yang rumit. Walaupun kebanyakan dari para muslimah terdidik dan dituntut untuk menjadi pribadi yang rendah diri, tetapi hal itu tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menunaikan kegemaran terhadap K-Pop.
Mengutip Heryanto generasi muslim mutakhir ini telah menemukan “cara (walaupun sesekali banyak orang yang memandangnya sebagai cara yang dangkal) untuk mendamaikan hal-hal yang secara tradisional di pandang sebagai bertolak belakang, yang mampu membuat mereka terlibat dengan Agama dan budaya populer secara bermakna dan bersunguh-sungguh, kaum muslim muda berusaha untuk berpartisipasi secara penuh dalam dunia modern tampa perlu melepaskan identitas mereka sebagai muslim”.
Kegemaran muslimah Indonesia terhadap K-pop telah memunculkan
komentar kepanikan moral di kalangan para elit, baik dari mereka yang berasal kalangan agamis, nasionalis, ataupun mereka generasi tua, yang menjunjung tinggi nilai-nilai maskulin dalam produksi seni. Mereka tidak ambil pusing, bila perlu melawan mereka akan lawan. Karena bagi mereka K-pop bukan hanya kemerlap gaya hidup industri hiburan, melainkan teman seperjuangan, yang sedang berjuang memulai dunia baru “Into to the New World”, dunia di mana Agama dan Perempuan tidak dikotak-kotakan dalam kategori yang sempit, dunia dimana mereka dapat menyanyi dan menari setulus hati.