Lontar.id – Dihapusnya ketentuan batas kapasitas 50 persen penumpang kendaraan, baik umum maupun pribadi, memasuki masa kenormalan baru pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia, membuat dilema.
Alasannya sederhana, aturan itu dinilai belum dapat mendongkrak jumlah penumpang, terutama transportasi darat.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020. Isinya tak lagi mengatur ketentuan kapasitas 50 persen penumpang, baik kendaraan umum maupun pribadi.
Menyikapi hal itu, pengamat transportasi Azaz Tigor Nainggolan, dilansir CNN Indonesia, menilai Permenhub tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan.
Ia menilai, pemerintah saat ini sebaiknya berinovasi di bidang transportasi umum dibanding menghapus aturan kapasitas penumpang.
“Kalau sudah ada regulasi sebelumnya yang membatasi perjalanan orang, ya sudah itu saja dulu, kemudian dievaluasi,” kata Azas.
“Adaptasi itu harus, kita mau memasuki babak baru new normal, tidak hanya menciptakan transportasi publik yang bersih, tapi juga adaptasi teknologinya,” imbuhnya.
Azaz menjelaskan, adaptasi teknologi di sektor transportasi bisa dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya membuat sekat antarpenumpang agar membuat penumpang tetap menjaga jarak.
Pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana cara supaya udara dalam transportasi publik tetap bersih, seperti memperbaharui pendingin udara.
“Modifikasi juga enggak cukup hanya jarak [antarpenumpang], tapi juga ada sekat antar penumpang, sistem air conditoner juga menurut saya harus diperbarui,” kata Azaz.
Sementara Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Syahrul Aidi Maazat khawatir langkah Menhub malah memicu gelombang kedua pandemi.
“Contoh saja Permenhub ini pada Pasal 14 a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase atau kuantitas pembatasan. Alhasil, nanti akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan, ada yang diperbolehkan ada yang tidak,” tutur Syahrul.