Nama Baharuddin Lopa sempat disebut-sebut Jokowi untuk menjawab pertanyaan Prabowo Subianto saat debat pertama Pilpres 2019. Siapa sih Lopa itu?
Jakarta, Lontar.id – Semasa hidup, Baharuddin Lopa dikenal sebagai seorang pejabat yang sangat sederhana. Merintis karier dari bawah hingga menjadi Jaksa Agung, pribadinya tetap bisa dijadikan contoh.
Baharuddin Lopa lahir di Mandar, Sulsel (sekarang Sulbar), pada 27 Agustus 1932. Ia mengawali karier sebagai jaksa di Kajari Makassar pada tahun 1958. Saat itu usianya 23 tahun, dan masih berkuliah di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin di Makassar.
Sebab berprestasi di bidangnya, Lopa lalu diminta menjadi Bupati Majene (Sulawesi Barat saat ini) pada usia 25 tahun. Tentu saja usia seperti itu masih terbilang muda baik sekarang dan pada zamannya. Menariknya, cuma dua tahun ia menjabat, lalu ia kembali ke dunia hukum.
Ia kembali menjadi jaksa di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Irian Barat sebelum menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Maluku Utara di Ternate. Hal itu disebabkan kalau menjadi jaksa adalah panggilan nurani menurutnya. Didasari hati, karier Lopa terus menanjak.
Karier Lopa berakhir pada 3 Juli 2001. Ia meninggal di Riyadh, Arab Saudi, tak lama setelah ia diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1 Juni 2001. Atas kejadian ini pula, banyak spekulasi bermunculan soal kematian Lopa.
Anak keduanya, yakni Iskandar Muda Baharuddin Lopa, menulis pernyataan ayahnya dalam buku Lopa yang Tak Terlupa. Secara pribadi, ia sangat bangga menjadi anak pejabat. Keluarganya dikenal oleh banyak orang. Kedua, ia bangga diajari hidup sederhana sedini mungkin oleh ayahnya.
Ia tidak manja. Keluarga besarnya menerapkan pola tak memanfaatkan fasilitas sebagai sosok pejabat penting. “Sebagai seorang anak pejabat penting, seharusnya saya hidup dengan limpahan fasilitas mewah. Namun, kami sekeluarga terbiasa hidup dalam kesederhanaan.”
Lopa punya alasan mengapa ia dan keluarganya tak boleh menuntut kemewahan dalam hidup. Alasannya adalah, karena bermewah-mewah tak sesuai dengan ajaran Islam. Lagipula penghasilan seorang jaksa tak akan membuat hidup keluarganya menjadi flamboyan.
“Bapak tidak mampu memberi kalian lebih dari yang Bapak mampu. Bapak tidak mau memberi kalian makan dari sumber-sumber yang syubhat, haram, dan melanggar hukum,” kisah Iskandar Muda.
“Kalian harus selalu jujur bersikap, berkata, dan memakai nurani. Dengan ini kalian akan berani mengambil sikap, setia pada kebenaran dan tidak akan menyimpang,” pesan Lopa yang disampaikan oleh Iskandar.
Baca juga: Jalan Sunyi dan Mutasi Umar Septono
Sederhananya Hidup Lopa
Sewaktu jadi pejabat, Lopa tak pernah memanfaatkan fasilitas yang didapatkannya untuk kepentingan pribadi. Salah satu contoh, saat Lopa menjabat sebagai Kajati Sulsel.
Istrinya, Indrawulan Majid Tongai, saat itu selalu naik bus bila pulang ke Majene. Indrawulan tidak pernah diantar oleh kendaraan dinas. Peraturan itu berlaku untuk semua anggota keluarganya.
Anaknya juga ikut kecipratan kerasnya Lopa. Ke sekolah, ia tak bisa ikut ayahnya naik mobil dinas. Padahal, sebenarnya tidak aturan, dan toh tidak apa-apa juga, sebab sekolah anaknya sejalur dengan kantor Lopa. Saking kerasnya dengan aturan itu, anak Lopa pernah nyaris celaka karena diserempet kendaraan.
“Walaupun ada mobil yang bisa antar jemput mereka ke sekolah, tapi seringnya saya tak menyuruh antar-jemput. Biar naik bus sendiri. Biar mereka mendapat pengalaman tentang susahnya hidup. Ini berlaku bagi anak lelaki maupun perempuan.”
Pada lain kondisi, Lopa juga mengunci telepon rumah dinas agar tidak digunakan kepentingan pribadi keluarganya. Malah, jika ingin menelepon, Lopa menyediakan telepon koin untuk keluarganya.
Bahkan saat menjabat sebagai jaksa agung, Lopa membuka rental play station dan warung telekomunikasi di samping rumahnya.
Mengirim Sebiji Korek dari Jakarta ke Makassar
Satu waktu, Lopa jadi pembicara di salah satu kampus di Makassar. Di sana, ia meminjam korek seorang mahasiswa, karena ia lupa membawa korek. Perlu diketahui, Lopa seorang perokok berat.
Lopa akhirnya dipinjami. Celakanya, Lopa membawa korek itu sampai ke Jakarta karena lupa mengembalikan macis pada empunya. Ia pun merasa terbebani, dan bercerita pada temannya yang hendak balik ke Makassar.
Kata kawannya, tak apa. Cuma sebiji saja. Namun, Lopa menjawab dengan telak. “Bukan begitu. Nanti gara-gara korek saya bisa masuk neraka, Minta tolong, Pak, titip korek ini ke Makassar. Sampaikan maafku pada yang punya,” ujar Lopa. Untungnya, Lopa tahu siapa mahasiswa itu, jadi dengan mudah korek kembali pada empunya.
Baca juga: Mengenal Ulama Tasawuf dari Sulsel, KH Ambo Dalle
Melawan Andi Selle
Andi Selle dikenal sebagai warlord alias penguasa perang asal Mandar. Dalam buku Lopa yang Tak Terlupa karangan Alif We Onggang, Selle disebut sebagai pemimpin kelompok pengacau.
Selle memang jadi jagoan, dan hidupnya berakhir tragis setelah ditumpas dalam Peristiwa Pinrang pada 5 April 1964, ketika Selle sudah bertemu Panglima Kodam XIV/Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf.
Sebelum perang itu pecah, Lopa ditugaskan memegang tampuk Bupati di Majene pada tahun 1960. Alasannya, keamanan di Majene kacau balau serta masyarakat merasa skeptis dengan penegakan hukum.
Apalagi, nama Andi Selle ikut dalam ketakutan masyarakat karena mereka dan kelompoknya dikenal sebagai bangsawan yang kebal hukum dan kerap bertindak sewenang-wenang.
Selain itu, Selle juga dikenal sebagai penyelundup besar. Mata pencahariannya adalah menyelundupkan kopra, dan merusak harga pasar kopra rakyat di sekitarnya.
Saat menjadi Bupati di Majene, Lopa pernah dilobi oleh Selle agar mendukung dan menyokong bisnisnya. Tetapi Lopa dengan tegas menolaknya. “Kebijakan pemerintah itu harus yang terbaik bagi rakyat, bukan untuk kepentingan penguasa,” kata Lopa.
Setelah menolak kemauan Selle, hidup Lopa jadi sering terganggu. Ia sering diteror, Nyawanya dipertaruhkan ketika Lopa bertahan dengan prinsipnya yang keras.
Saking jengkelnya Selle dengan sikap idealisme Lopa, dikabarkan kalau Selle pernah mengajak Lopa duel pistol. Selle juga berencana untuk menculik Lopa. Untung saja ada satuan kepolisian yang dipimpin Kapten Andi Dadi. Lopa lalu disembunyikan.
“Jabatan sebagai bupati itu bisa dikatakan sebagai sejarah penting dalam kehidupan saya. Selama mengemban amanah itu, saya mendapatkan kekuatan untuk ikhlas melaksanakan kebenaran di tengah bahaya yang mengancam.”