Senang rasanya bisa ber-HMI. Jaringan pertemanan meluas, gagasan-gagasanku juga kerap diadu di ruang-ruang diskusi. Status mahasiswaku seolah paripurna, meski belum utuh sepenuhnya. Hijau-Hitam tahu betul cara membuat mahasiswa kere seperti saya kala itu bisa terlihat keren.
Lontar.id – Pantaslah kita berima kasih kepada Lafran Pane. Tokoh pendiri HMI. Karenanya, banyak tokoh besar yang lahir dari organisasi islam itu. Juga tak sedikit lingkungan Hijau-Hitam mempertemukan mereka dengan jodohnya. Asik.
Tepat 5 Februari 2019, HMI tercinta bermilad ke-72 tahun. Status WA, beranda Facebook, Twitter penuh dengan ucapan ulang tahun kepada organisasi yang didirikan pada 5 Februari 1947 itu.
Bertepatan dengan milad HMI, temanku mengirim foto di dinding facebook. Gambar itu diabadikan pada medio 2013 lalu di Makassar. Saat itu saya menerima kunjungan dari peserta intermediate training (LK2) HMI cabang Bima sepulang mengikuti pengkaderan di Samarinda, Kalimantan. Sebagai kader HMI dengan spirit Hijau-Hitam, apalagi itu teman sekampung sudah sepantasnya mereka mendapat pelayanan ekstra sekaligus membawanya istirahat di penginapan sederhana saya (baca: kos-kosan).
Selama sepekan saya menemani mereka berdiskusi dan mengantar ke senior HMI serta forum-forum pertemuan resmi di Makassar, sebelum akhirnya mereka pulang menggunakan kapal Pelni. “Moment di Manuruki 6 Kota Makassar 2013 Silam, tepatnya saat teman-teman HMI cabang Bima mengikuti LK II di Samarinda, Kalimantan. Saya pernah berada di tengah-tengah mereka berbagi dan belajar bersama menggapai puncak kearifan ilmu pengetahuan,” tulisnya di caption.
HMI sudah saya kenal jauh sebelum saya bergabung. Yang namanya mencintai memang butuh proses. Cinta saya ke HMI datang melalui perantara senior saya di kampus. Di kosanku, kami kerap berdiskusi. Saking asyiknya, tak terasa diskusi yang diselingi perdebatan membuat kami terjaga hingga masuk waktu subuh.
Ada rasa penasaran, yang akhirnya membawa saya mengikuti basic training di Sekretariat HMI Cabang Makassar Jalan Botolempangan. Diskusi, baca buku dan unjuk rasa seperti sudah tak asing lagi saat awal-awal masuk HMI. Masa-masa itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), merencanakan akan menaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Aksi mahasiswa pun meledak, jalan-jalan utama Kota Makassar diduduki ribuan mahasiswa, mulai dari kampus Unismuh hingga Unhas. Jalanan macet parah dan kobaran api dari ban bekas membumbung tinggi, suara dari megaphone saling bersahut-sahutan saat jenderal lapangan memimpin aksi waktu itu.
Polisi dan tentara yang mengawal aksi terlihat tak berkutik melawan arus gerakan mahasiswa. Walau pada akhirnya kami harus bentrok dengan mereka. Tak sedikit teman-teman saya terkena tembakan peluru karet, gas air mata hingga dipukul di atas mobil polisi.
Mengenang peristiwa itu, seolah menghidupkan kembali aktivisme mahasiswa masa lalu. HMI selalu menjadi garda terdepan mengangkat bendera melawan penguasa di jalan-jalan.
Sejarah Berdirinya HMI
Lafran Pane seorang mahasiswa jurusan hukum Sekolah Tinggi Islam (STI) sekarang Universitas Islam Indonesia (UII), mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HIM). Sebuah organisasi kemahasiswaan berlatarbelakang Islam di Yogyakarta, pada 14 Rabiul Awal 1366 hijriah, bertepatan dengan 5 Februari 1947. Lafran Pane bersama 14 temannya yang lain, mengadakan rapat mendesak pada jam mata kuliah Tafsir Husein Yahya.
Lafran Pane sendiri memimpin rapat, dan telah menyiapkan draft Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), kemudian disepakati HMI sebagai nama organisasi. HMI didirikan sebagai basis gerakan intelektual Islam, mengamalkan ajaran agama dari pengaruh sistem pendidikan sosialis komunis yang telah menjangkiti kalangan mahasiswa waktu itu.
Tujuan HMI pertama kali terdiri dari dua poin utama, pertama mempertahankan NKRI dan mempertinggikan derajat rakyat Indonesia. Kedua Menegakkan dan megembangkan ajaran agama Islam. Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 tokoh lainnya Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu) dan Mansyur
Setahun sebelum HMI didirikan pada November 1946, Lafran Pane pernah mengumpulkan 30 mahasiswa yang tergabung di organisasi Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang beraliran sosialis. Pada rapat itu, ia menguraikan alasannya terkait pentingnya membentuk organisasi mahasiswa dengan latar belakang Islam. Namun rapat tersebut tidak membuahkan hasil, melainkan menimbulkan pertentangan dikalangan PMY. Hingga setahun kemudian, Lafran Pane berhasil mendirikan HMI dan membantuk pengurus besar.
Di masa-masa berdirinya HMI, kondisi bangsa Indonesia sedang berkecamuk. Belanda kembali menginvansi Indonesia pada Juli-Agustus 1947 di Jawa dan Sumatra, Belanda melanggara perjanjian Linggarjati yang mengakui wilayah Indonesia secara de fackto serta pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). HMI pun turut terlibat bersama militer dan rakyat mengusir penjajah dengan berjuang mengangkat senjata kemudian membentuk Corp Mahasiswa (CM), Hartono sebagai Hartono dan wakil komanda Ahmad Tirtosudiro.
Perjalanan organisasi HMI di masa Orde Lama (Orla) mendapatkan banyak tantangan, terutama dari organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang berafiliasi dengan sosialis komunis yang hendak membuabarkan HMI. Tetapi sejumlah tokoh bangsa tak tinggal diam, menykasikan HMI ingin dibubarkan. Jendral Ahmad Yani salah satunya, memasang badan jika hendak menggulung organisasi Islam itu dan menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia, karena peran dan keikutsertaanya menjaga NKRI dari penjajahan Belanda.
Setelah Orde Lama tumbang dan memasuki fase Orde Baru, banyak dari kader HMI yang masuk di struktur pemerintahan yang menjadi penyokong pemerintahan Soeharto. Pada 1970-an HMI mencetak generasi emas seperti Nurcholis Majid, Agussalim Sitompul, Akbar Tanjung, Amidhan, A. Dahlan Ranuwihardjo dll. Perpecahan di tubuh HMI mulai terlahat, ketikak Soeharto memaksakan pemberlakukan asas tunggal pancasila. Sehingga pada kongres ke-15 di Medan 1983, HMI menerima asas tunggal pancasila. Sedangkan pihak menolak pancasila sebagai asas tunggal mendirikan Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Hingga kini kita mengenal HMI DIPO dan HMI MPO, kedua organisasi ini masing-masing memiliki pengurus besar.
Selain menjadi pelopor lahirnya Orde Baru, HMI juga terlibat menumbangkan pemerintahan Soeharto pada 1998 dengan menggelar aksi demonstrasi besar-besaran dengan berbagai elemen mahasiswa lainnya.
Penulis: Ruslan