Generasi Z, juga dikenal dengan istilah iGen, adalah kelompok manusia yang saat ini sedang berada dalam masa anak-anak, remaja, dan memasuki usia dewasa. Ranstad Canada menyatakan bahwa Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1995-2014. Penulis buku How Cool Brands Stay Hot, Joeri van den Bergh dan Mattias Behrer, mengatakan bahwa Generasi Z adalah mereka yang lahir setelah tahun 1996. Sementara Phillippine Retailers Association mendeskripsikan Generasi Z sebagai seluruh manusia yang lahir setelah tahun 2001.
Walau sebenarnya tidak ada ketentuan resmi mengenai tahun awal kelahiran Generasi Z, namun kita bisa sepakat bahwa generasi ini merupakan generasi pertama yang dapat menikmati teknologi internet sejak usia yang sangat dini.
Generasi Z dan Teknologinya
Jika Generasi X dan Y (Millenial) sempat merasakan ‘keajaiban’ masuknya teknologi internet di Indonesia pada awal tahun 1990-an, maka Generasi Z cukup beruntung karena bisa langsung menikmati akses internet yang telah tersedia bahkan sebelum mereka lahir. Seiring perkembangan teknologi yang semakin ringkas lagi terjangkau, semakin mudah bagi Generasi Z untuk menjadikan teknologi digital sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan sehari-hari.
Kemelekatan Generasi Z pada teknologi tentu memengaruhi cara mereka berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Selain menggunakan pesan singkat (SMS) dan telepon, salah satu peranti yang jamak digunakan saat ini adalah media sosial. Tidak hanya untuk komunikasi interpersonal, media sosial juga digunakan untuk berbagi informasi pribadi, konten yang menghibur berupa gambar atau video, artikel berita, hingga hasil pemikiran yang dituang dalam bentuk tulisan kepada sesama warganet. Bila dikaji lebih dalam, media sosial bisa dianggap sebagai salah satu wadah pengejawantahan identitas diri paling efisien dan ‘kekinian’.
Seperti kita ketahui, dampak positif hampir selalu berparalel dengan dampak negatif. Ketika di satu sisi media sosial atau internet secara keseluruhan dapat memberi begitu banyak informasi bermanfaat, teknologi ini juga kerap digunakan untuk memenuhi hasrat dan kepentingan golongan tertentu. Istilah ‘hoax’ atau pemberitaan palsu menjadi akrab di telinga kita sejak beberapa tahun silam, dan belakangan erat kaitannya dengan dunia politik. Ya, berita yang digoreng dengan data fiktif bahkan kalimat-kalimat provokatif menjelma bisnis menggiurkan sekaligus mematikan.
Generasi Z dan Pemikirannya
Sebagian Generasi Z merupakan remaja atau dewasa muda (young adult) dengan usia 15-22 tahun, ini berarti mereka sudah mulai memiliki opini tersendiri terkait hal-hal krusial seperti norma sosial, agama, dan pandangan politik. Didikan dari sekolah, orangtua, lingkungan, serta informasi yang dicerna dari internet tentu saja memiliki peran substansial dalam proses formulasi opini tadi.
Lalu, kira-kira apa jadinya bila generasi ini kerap terpapar berita atau informasi yang telah dipelintir sedemikian rupa demi kepentingan golongan yang haus kekuasaan? Bisa saja berita hoax itu tidak mendapat hirau pembaca berpemikiran terbuka dan kritis. Bisa juga kata-kata penuh praduga lagi sarat nada permusuhan tadi malah justru menumbuhkan benih-benih kebencian yang mencedera nalar.
Kebencian terhadap golongan tertentu atau terhadap mereka yang bukan dari golongan kita adalah bentuk penolakan terhadap Pancasila, dan anti-Pancasila bukanlah karakteristik yang ingin kita lihat pada generasi mana pun juga, terlebih pada generasi yang tengah khusyuk mencari jati diri.
Pemikiran yang tidak lagi mengadabi Pancasila sebagai ideologi negara berpotensi membentuk karakter intoleran, geram pada perbedaan, bahkan mengamini paham radikalisme.
Bila kita tetap permisif dan apatis terhadap pengaruh berita hoax dalam membentuk pemikiran dan karakter Generasi Z, bukan tidak mungkin semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ akan menjadi mimpi indah belaka.
Merangkul Generasi Z
Menyalahkan teknologi internet dan perkembangannya tentu hanyalah ratapan menyedihkan yang tidak akan menghasilkan solusi efektif. Salah satu bentuk pencegahan dampak buruk dari derasnya arus informasi bisa dengan memastikan bahwa si-penyerap-informasi memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah. Artinya, mereka sudah cukup kritis untuk mencari tahu kredibilitas media yang memuat berita, atau setidaknya melakukan cross-check terutama bila judul berita berkesan kontroversial.
Apakah Generasi Z butuh bimbingan? Tentu saja. Begitu pula dengan generasi-generasi sebelumnya. Kita semua harus saling membimbing dan belajar dari yang lain agar tercapai kesepahaman mengenai pentingnya berpikiran terbuka di tengah-tengah pelbagai perbedaan.
Namun, apakah cara-cara konvensional seperti diskusi rutin atau seminar sudah cukup? Walaupun jurnalis Harry Wallop menyatakan bahwa Generasi Z cenderung lebih cerdas, dewasa, dan berkeinginan untuk mengubah dunia, di sisi lain Generasi Z lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gadget seperti smartphone atau laptop dibandingkan generasi sebelum mereka. Berarti, jika kita ingin mencari alternatif untuk mengajak Generasi Z berdialog, alih-alih meminta mereka untuk berpaling dari gadget, ada baiknya kita yang mencoba ‘masuk’ ke dalam gadget mereka.
Kegiatan diskusi atau seminar yang selama ini direkam dan diunggah ke dunia maya adalah permulaan, kemudian mulai ramai pemanfaatan fitur live streaming yang memancing keterlibatan penonton. Sekarang, makin banyak kelompok-kelompok diskusi berbasis online yang berbagi ilmu tanpa harus bertatap muka secara langsung. Ini adalah gambaran sederhana tentang bagaimana Generasi Z turut merevolusi cara belajar konvensional ke digital. Diskusi berjalan, dan mereka yang jauh tetap dapat menikmati cukup dengan satu sentuhan jari saja. Semoga akan terus ada perkembangan teknologi yang memudahkan kita untuk selalu berdialog dengan damai di tengah keramaian usaha pemecahan bangsa.
Pada akhirnya, kita yang lahir sebelum Generasi Z harus berhenti menganggap generasi ini sebagai adik bungsu yang bakal terus lucu, atau anak yang selalu perlu didikte karena tidak mampu berpikir mandiri. Tidak lama lagi Generasi Z akan matang, mereka akan ikut berperan dalam membawa perubahan. Dan kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa di jiwa mereka telah tertanam semangat Pancasila yang termanifestasi dalam bentuk toleransi-tenggang rasa demi menjaga tenun kebhinekaan.