Emha Ainun Nadjib dalam beberapa esainya sering menyebut nama Imam Lapeo sebagai seseorang yang waliyullah dan punya karamah di tanah Mandar. Siapakah dia?
Jakarta, Lontar.id – Masyarakat selalu membawa nama Imam Lapeo. Jika bertemu badai, atau mengalami suatu musibah dari laut, mereka akan segera mengingat dan menyebut nama Imam Lapeo.
Namanya seakan menjadi pelindung yang diizinkan Allah untuk menyelamatkan para nelayan. Hingga kini, masyarakat Mandar, yang kebanyakan mendiami pulau-pulau luar di Nusantara, masih terus berlaut, menggantungkan hidup mereka pada nama sang Imam.
Itulah salah satu karamahnya yang ditulis Cak Nun secara garis besar dalam salah satu bukunya. Imam Lapeo sendiri lahir pada tahun 1838 di Pambusuang wilayah Kecamatan Tinambung (sekarang). Mengulik kelahirannya, terdapat perbedaan.
Ada yang berpendapat bahwa Imam Lapeo dilahirkan pada tahun 1839 ketika Raja Balanipa XLI (ke-41) Tomatindo di Marica (suatu gelar yang diberikan untuk raja yang sudah meninggal) menjalankan pemerintahannya di Mandar, dan semasa dengan upaya Belanda untuk menjejakkan kakinya di Mandar.
Imam Lapeo disebutkan dalam buku Jejak Wali Nusantara: Kisah Kewalian Imam Lapeo di Masyarakat Mandar, berlatar belakang dari
keluarga yang taat beragama.
Ayahnya adalah seorang petani dan nelayan, dan menjadi pula guru mengaji. Namanya Muhammad bin Haji Abdul Karim Abbatalahi. Sementara ibunya bernama St Rajiah.
Kemampuan mengaji Abdul Karim diwarisi dari ayahnya, Kakek Imam Lapeo, H. Abdul Karim Abtalahi yang popular di masyarakat dengan nama Nugo.
Soal nama Lapeo, K. H. Muhammad Tahir diberi nama Imam Lapeo karena beliaulah yang mendirikan masjid di Daerah Lapeo dan sekaligus menjadi imam pertama pada masjid yang didirikannya itu.
Sejarah telah mencatat bahwa pembaharuan Islam di Indonesia dilakukan dengan beberapa jalur, seperti: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, dan seni; maka Imam Lapeo juga melakukan pembaharuan tersebut tetapi hanya melalui saluran perkawinan, pendidikan, dan tasawuf.
Baca juga: Ritus Pengislaman Calon Mualaf di Pinrang
Menyebarkan Islam Lewat Perkawinan
Perkawinan dalam penyebaran Islam merupakan cara yang paling efektif, baik pada awal kedatangan Islam maupun pada masa-masa selanjutnya (setelah masuknya Islam).
Alasannya, karena dengan perkawinan bisa meningkatkan nilai sosial budaya, sosial ekonomi, utamanya peningkatan status sosial politik yang dapat mempercepat tersebarnya ajaran agama Islam.
Misal, perkawinan antara muballig atau ulama dengan seorang putri bangsawan (anak raja) ataupun dengan putri penguasa lainnya. Contohnya dalam sejarah nasional Indonesia Jilid III, ditulis bahwa Maulana Ishaq datang di Balambangan dan menikahi putri raja negeri tersebut yang kemudian melahirkan Sunan Giri.
Imam Lapeo sendir, pada usianya yang ke-27 tahun, dinikahkan oleh gurunya yang bernama Sayyid Alwi Jamaluddin Bin Sahil. Ia adalah seorang ulama besar dari Yaman.
Imam Lapeo dinikahkan dengan seorang gadis yang bernama Hagiyah yang kemudian berganti nama menjadi Rugayyah. Sejak
perkawinannya itu pula, oleh gurunya Junaihil Namli diganti menjadi Muhammad Tahir.
Dalam kehidupannya, Imam Lapeo menikah enam kali. Perkawinan ini didasarkan pada kesadarannya, bahwa hal tersebut merupakan salah satu strategi dakwah yang paling efektif dalam pembaharuan Islam.
Pernikahan Imam Lapeo dapat digambarkan sebagai berikut; yakni istri pertama bernama Rugayyah, berasal dari Pambusuang, dari perkawinannya itu beliau dikaruniai 8 orang anak antara lain bernama St. Fatimah, St Hidayah, Muh. Yamin, Abd Hamid, Muh. Muchsin, St. Aisyah, St. Muhsanah, dan St. Marhumah.
Perkawinan yang kedua dengan seorang gadis yang bernama st halifah dari daerah Campalagiang. Perkawinan beliau yang kedua itu tidak dikaruniai anak. Istri ketiga bernama St Hadijah, dari daerah Balanipa, yang melahirkan seorang anak yang bernama Najamuddin.
Istri keempat bernama St. Attariyah dari daerah Tinambung, perkawinannya yang keempat itu juga tidak dikaruniai anak. Keempatnya disebut merupakan keluarga atau keturunan tokoh-tokoh masyarakat dari setiap daerah.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih mengembangkan Islam di kalangan Masyarakat, melalui orang-orang yang berpegaruh di daerahnya.
Perkawinan beliau yang kelima, yakni dengan seorang putri yang bernama Syarifah Hidah, namun perkawian itu juga tidak dikaruniai anak.
Dan perkawinan beliau yang keenam, yakni dengan St. Amirah yang berasal dari keturunan Raja (Mara’dia) Mamuju dan dari perkawinan ini beliau dikaruniai empa orang anak yang masing-masing bernama Abdul Muthalib, St. Sabannur, St. Aisyah, dan Yang terakhir St. Aminah.
Baca juga: Soal Kampung Mualaf di Pinrang
Menyebarkan Islam Lewat Pendidikan
Tahir Imam Lapeo dalam melakukan penyebaran Islam melalui saluran pendidikan, dapat dilihat pada kegiatan beliau dirumahnya mengajar para santri yang berdatangan dari jauh.
Seiring waktu para santri bertambah, maka dibuatlah pesantren yang oleh Imam Lapeo memberi nama madrasah itu Al-Diniyah Al-Islamiyah Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan dibantu oleh beberapa orang guru.
Dalam jurnal yang ditulis Ruhiyat, Imam Lapeo Sebagai Pelopor Pembaharuan Islam di Mandar, murid-murid yang datang belajar pada beliau umumnya ditampung di rumah Imam Lapeo.
Yang ditampung terutama murid yang berasal dari pegunungan Kabupaten Polewali Mandar dan serta dari luar. Mereka secara bersama-sama tinggal dirumah Imam Lapeo tanpa dipungut biaya apapun.
Lama kelamaan, usaha syiar Islam itu meluas, tidak hanya dilakukan di Lapeo, akan tetapi dilaksanakan pula di kampung- kampung dan desa-desa dalam Mandar itu sendiri. Dan bahkan juga melakukan
pengembangan Islam di luar daerah.
Baca juga: Mohammad Ahsan, Pebulutangkis Syar’i yang Tetap Konsisten
Menyebarkan Islam Lewat Tasawuf
Tasawuf sendiri adalah suatu metode untuk mendekatkan diri pada Allah. Selain metode mendekatkan, metode ini juga bisa disyiarkan pada orang-orang.
Penyiar-penyiar Islam terdahulu melalui saluran tasawuf, menyajikan ajaran Islam menurut kadar penerimaan obyeknya.
Tradisi atau kebiasaan orang-orang Mandar yang sudah berakar dari sejak dulu, biasanya dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan ajaran Islam. Tujuannya, agar apa yang mereka sampaikan dapat diterima dan dipahami dengan cepat.
Di daerah Mandar, Imam Lapeo dikenal dengan gelar Tosalama (yang memperoleh keselamatan), ataupun Tomakkarama (yang mempunyai kekeramatan) juga melakukan penyebaran Islam melalui tarekat dan tasawuf.
Ajaran tarekat yang Imam Lapeo ajarkan di Mandar adalah tarekat Syasiliyah, yang didapatnya ketika menuntut ilmu di Padang Sumatera Barat. Lalu beliau perdalam lagi ketika berada di tanah suci Mekah.
Imam Lapeo menganjurkan kepada murid-muridnya agar memperbanyak shalat sunnat dan dzikir kepada Allah secara rutin pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Di sisi lain, mereka yang percaya dengan ilmu sihir atau doti, percaya kalau Imam Lapeo bisa menyebuhkan orang yang terkena sihir. Maka tersebarlah berita itu, lalu membuat Imam Lapeo digandrungi.
Berduyun-duyun masyarakat datang, mereka ingin belajar mengobati. Namun terpenting, mereka berguru tentang ajaran agama Islam, karena dengan mengetahui ajaran gama Islam keluarbiasaan itu akan ditemukan tentunya atas kehendak dari Allah.
Baca juga: Kisah Usang Tukang Utang
Imam Lapeo Berpulang
Dalam Naskah Sejarah Mandar, Imam Lapeo disebut mengembuskan nafas terakhir dengan tenang diperkirakan pada tahun 1952 dalam usia 114 tahun, hari selasa 27 Ramadhan 1362 H, tanggal 17 Juni di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagiang, Kabupaten Polewali Mandar).
Imam Laepo dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. Yang masyarakat Mandar menyebutnya Masigi Lapeo (Masjid Lapeo).
Cerita Masyhur Soal Imam Lapeo
Dari laman resmi Cak Nun, suatu hari, masjid besar Imam Lapeo tengah direnovasi. Ada banyak material yang dibutuhkan serta biaya untuk membangun masjid tersebut.
Tak lama, sebuah truk membawa semen sangat banyak datang ke masjid. Orang-orang atau panitia pembangunan kaget karena merasa tidak pernah memesan material kepada orang yang datang itu.
Ditanya-tanya ke siapapun, tetap tak ketemu. Hingga pada satu titik, orang itu melihat foto Imam Lapeo. “Nah, ini ini yang pesan semen yang datang ke toko kami.”
Padahal Imam Lapeo sudah sangat lama meninggal dunia. Bagaimana mungkin bisa memesan semen?