Di tengah sengkarut kampanye yang imbasnya saling maki dan tebar ancam, hadir satu kampanye menarik dari Makassar.
Jakarta, Lontar.id – Bagaimana perasaanmu jika seluruh camat menggertakmu, dan menyuruhmu untuk memilih pemimpin yang disarankan hanya olehnya saja?
Sudah pasti kaumerasa tak enak hati jika melawan titah seorang pejabat negara, yang kapan waktu akan kaubutuhkan tanda tangannya dalam mengurus segala perizinan, bukan?
Tapi, alangkah baiknya, hidupmu tak sendiri. Kau punya kawan-kawan yang membantumu melawan pemerintah yang diktator, yang suka mengancam dan mau menang sendiri.
Kawan-kawanmu itu adalah seorang penjagal binatang alias tukang potong di sebuah rumah jagal yang reyot dan bau darah. Kedua, tukang gali kubur, ketiga pedagang langsat di pinggir jalan.
Dalam ketakutan yang sangat dan membuat dirimu hampir tak punya daya lagi untuk melawan tirani. Hadirlah teman-temanmu. Kata-kata untuk revolusi ia ucapkan secara tak sengaja dalam satu kesempatan.
Uangmu saat itu cuman sedikit. Anak dan istrimu sudah kelaparan dan tak sempat lagi memilih makanan sesuai seleranya. Di rumahmu masih ada beberapa kilogram beras, minyak kelapa, dan sedikit garam.
Di tengah badai ketakutan dan was-was, kau mendatangi rumah jagal dan betapa merananya hidupmu saat melihat ayam yang besar-besar dibawa pulang oleh orang-orang yang punya duit lebih.
Kau akhirnya murung di depan rumah jagal. Sembari membawa parang yang ada percikan darahnya, kawanmu menghampiri dan menepuk pundakmu.
“Ada apa kawan?”
“Perutku keroncongan dan ingin makan. Uangku tak cukup untuk membeli ayam potong, yang pahanya besar-besar itu.”
“Berapa uangmu?”
“Aku cuma punya lima ribu rupiah. Kerja sekarang susah, dan bantuan dari pemerintah belum juga turun. Barangkali takkan pernah turun, karena ancaman-ancaman yang ditakutkan kalau kita tak memilih pemimpin yang disarankan pemerintah, maka bantuan terhambat untuk kita.”
“Sudahlah. Tenang. Aku punya saran. Tunggu di sini.”
Kawanmu itu lalu menguliti sepotong ayam yang sudah dipesan pembeli. Dengan cekatan, ia mengiris dada ayam itu, dan merobek kulit dadanya, kemudian menariknya sekuat tenaga agar seluruh kulit tercabut dari tubuh ayam.
Pekerjaan itu selesai. Ayam sudah dipotong enambelas bagian. Pembeli tersenyum. Kulit ayam yang tadi baru dicabut, disimpan dalam wadah plastik dan digabung dengan usus, kaki, dan kulit ayam yang sudah dipisah sebelumnya.
“Kauambil ini. Lima ribu saja. Kau bisa menggoreng kakinya, menggoreng ususnya, menggoreng kulitnya. Kau akan dapat minyak juga dari kulit ayam.”
“Kau bisa menggoreng kulit ayam tanpa minyak sebenarnya. Sebab, kulit ayam punya lemak dan kau bisa memanfaatkannya kalau minyakmu tinggal sedikit. Setidaknya, makanmu akan enak mesti tanpa daging ayam, kan?”
“Terima kasih kawan. Lalu apa saran soal keluhanku tadi?”
“Nanti kita rapat bersama dua kawanku. Satunya penjual langsat, satunya lagi tukang gali kubur di kelurahan. Masalahmu ini sama seperti masyarakat miskin yang lain. Saya akan pimpin revolusi.”
***
Kisah di atas adalah fiksi, yang secara sengaja saya buat, sebab terilhami dari kampanye kreatif yang dilakukan salah satu anggota legislator di Makassar, dari partai Demokrat.
Namanya Basdir. Dalam satu wawancara yang dilayangkan Lontar, Basdir menjawab sederhana soal videonya yang viral, yang memuat soal balas-berbalas kampanye politik bisa dilakukan dengan jenaka.
“Video parodi itu sebagai bentuk kritikan kami terhadap ASN yang terlibat politik praktis. Kami juga tidak menyangka video itu bisa viral,” kata Basdir kepada Lontar.id saat dihubungi, Senin (25/2/2019).
Baca juga: Lawan Politisasi ASN Lewat Parodi, Sekjen Demokrat Puji Basdir
Pembuatan video itu didasari, karena seorang anggota timnya menonton video Camat se-Makassar yang ramai-ramai mendukung Capres-Cawapres, Basdir bersama timnya lalu membuat video tandingan.
“Karena refleks saja video itu dibuat, proses pembuatannya pun tidak se-profesional video para Camat,” ujarnya.
Menurut Basdir, niatnya melibatkan para konstituen dalam video, juga sebagai penggambaran riil masyarakat yang enggan diintervensi soal hak pilih.
“Yang terlibat dalam video itu juga berkesan, karena mereka merupakan masyarakat kecil yang tak bisa diintervensi soal Pilpres. Mereka juga menentang Politisasi terhadap ASN,” ujarnya.
Pilihan politik yang identik dengan selalu memakan tumbal, kini harus dibuang jauh-jauh. Begitupun ketakutan untuk berbicara dan mengkritik nilai-nilai apa saja, baik yang disampaikan masyarakat dan pemerintah.
Lewat Basdir lah, politik dijadikan sebagai kabar yang menggelikan dan punya pesan yang khusus. Intinya keceriaan. Selain Basdir, pola kritisme juga pernah diajarkan The Grand Old Man, yang tak lain adalah Agus Salim.
Caranya satire, dan terbaca lucu. Kisahnya begini, dulu, pada 1923, Haji Agus Salim mesti menghadapi resistensi orang-orang komunis di Sarekat Islam (SI).
Pria yang berjanggut khas itu, akan berpidato di depan lawan poltiknya. Namun, tiga kali dia mengucapkan salam, tiga kali pula muncul suara meledek yang menirukan kambing. Penonton dari arah belakang tak dinyana, mengembek.
Bergidikkah Agus Salim, dan jatuhkah mentalnya? Tidak. Agus Salim melawan dengan cara yang elegan. “Tunggu sebentar. Bagi saya, sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan, bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya,” kata Haji Agus Salim di atas podium.
“Hanya, sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas,” lanjut pria yang lahir dengan nama Mashudul Haq (‘pembela kebenaran’) itu.
“Jadi saya sarankan agar untuk sementara mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali,” sambung dia.
Demokrasi bukan berarti kita harus melakukan apa saja, bukan? Selalu ada aturan yang harus dipatuhi, baik itu nilai di masyarakat, dan nilai di mata hukum, juga agama.
Kini, segerombol orang tampak gagap mengaplikasikan demokrasi kita sekarang. Persekusi, umpat-benci, caci-maki, serta saling jotos dalam ruang parlemen kerap terjadi.
Dengan video camat yang beredar itu, sudah pantaskah mereka benteriak-teriak yang tak jelas ke mana arahnya? Siapakah yang akan mereka tantang? Membuat video pasti ada pesan, dan omong kosong video itu tidak politis sama sekali.
Tentu saja saya mengkritik caranya menyampaikan pesannya, sebab itu diarahkan ke saya, atau masyarakat yang masih mengaku dirinya seorang warga biasa. Urusan politik, itu tugas dari pihak yang bisa mengurusnya, yakni badan pengawas pemilu.
Kembali soal video yang ceria itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Demokrat, Hinca Panjaitan, ikut memuji video cara Basdir meramu video yang membuat nama dan wajahnya viral.
“Kreatif, cerdik dan cerdas; ruang demokrasi dibuat bersahaja oleh kader Demokrat. Video dibalas cerdik dengan video; kalimat dibalas santun dengan kalimat,” kata Hinca melalui pesan tertulisnya kepada Lontar.id.
Legislator DPR RI ini mengatakan, langkah Basdir dalam menyampaikan pendidikan politik patut mendapat apresiasi. Selain tanpa menunjukkan kening berkerut, video tersebut juga dipenuhi canda.
“Pendidikan politik yang disampaikan kader demokrat politik dengan kening tak berkerut, penuh canda, tapi jelas maksudnya: pemegang kedaulatan itu rakyat jelata, para Camat pelayan masyarakat, bukan pelayan politik praktis tertentu dan sesaat. berbaktilah pada rakyat,” terang Hinca.
Soal apakah tulisan ini tendensi dan memihak salah satu paslon? Saya katakan tidak. Sebab seseorang yang tahu bagaimana cara menyampaikan pesan secara lisan, dan membuat suasana sejuk, itu lebih penting kan?