Lontar.id- Kemarin saya menghubungi Kyai Saleh. Seperti biasa, perbincangan dengan Kyai Saleh selalu menjurus pada perstiwa-peristiwa yang kontroversial. Kali ini, saya bertanya tentang perayaan natal.
Saat pertam kali bertemu dengan Kyai Saleh, kami dan beberapa muridnya memperbincangkan tentang gender dan bissu pada suku Bugis. Berangkat dari perbincangan itu, kami lanjut membahas LGBT dan di mana posisi Islam dalam memandang keberagaman gender?
Baca Juga: Bissu Tidak Mengenal Gender, Alih-Alih Melihatnya Sebagai Transgender
Kyai Saleh bisa diajak ngobrol apa saja. Dalam lingkup yang lebih milenialpun, Kyai Saleh sangat bisa berdiskusi. Dia tidak pernah ketinggalan informasi, apalagi yang sedang viral. Dulu, sebelum murid-muridnya berpindah kota, selepas maghrib, kami pasti diajak ngobrol.
Meski telah berbeda kota, dengan kecepatan smartphonenya, kami masih bisa saling berhubungan. Terakhir, saya menghubungi Kyai Saleh karena ingin menanyakan tanggapannya tentang kasus Ibu Sukmawati yang mengatakan Soekarno lebih berjasa dari Muhammad dalamkonteks kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Pidato Sukmawati yang Membandingkan Soekarno dan Muhammad Sungguh Tidak Bersukma
Kyai Saleh memiliki jawaban sederhana dan hampir semua jawabannya mendapatkan pertanyaan balik dari murid-muridnya, namun ia tetap memiliki jawaban lagi. Termasuk, ketika saya menanyakan tentang bolehkah orang Islam mengucapkan selamat natal? Selain itu, saya juga menanyakan mengapa setiap tahun selalu ada perbincangan halal-haram ucapan selamat natal. Padahal, hal itu sudah berulang kali dibahas dan jawabannya pun selalu sama. Ada yang mengatakan itu haram, ada yang bilang haram.
“Lalu posisi Kyai Saleh di mana, boleh atau tidak?”
“Sebagai ungkapan kebudayaan tidak masalah. Ini bagian dari menjalin hubungan. Tapi kalau enggan mengucapkan karena alasan keagamaan juga silakan.” Kata Kyai Saleh.
“Ungkapan kebudayaan dan keagamaan bagaimana maksudnya Kyai?” Tanya saya balik.
“Pemberian ucapan sebagai bagian dari budaya. Sama ji posisinya kalau ucapan selamat ulang tahun.”
Kalau keagamaan lebih kepada syariat Islam ya, Kyai? Tanya saya lagi.
“Melibatkan tataran fiqih. Di sinipun ulama macam-macam. Ada yang memboleh, ada yang makruh. Ada yang sampai mengharamkan. Kalau ulama Mesir biasanya lebih terbuka.” Jawab Kyai Saleh lagi.
“Bagaimana kalau keagamaan tidak sejalan dengan kebudayaan?”
“Tetapi ji sejalan dengan beberapa pendapat ulama yang membolehkan. Tapi saya menganggapnya sebagai ungkapan kebudayaan saja.” Jelas Kyai Saleh.
Sampai pada pembahasan hukum mengucapkan selamat natal, kami ngobrol, lebih tepatnya saya yang mengejar analisa dari Kyai Saleh tentang pro-kontra ucapan selamat natal yang setiap tahun terjadi. Bahkan, tidak jarang pembahasan demikian memunculkan debat kusir di jagat maya hingga menimbulkan konflik yang memecah belah umat.
Jawaban Kyai Saleh hampir serupa dengan dugaan saya. Menurut Kyai, pembahasan itu terus berulang karena panggung berdebat semakin terbuka lebar. Hal itu, juga dipengaruhi oleh populisme Islam yang semakin menguat dan pada akhirnya memengaruhi wacana diskusi.
“Saya melihat ada kelompok penyorak yang mudah larut dalam gejala populisme. Kebetulan, pendakwah yang banyak beredar dari orang yang setuju dengan cara berpikir seperti itu. Contoh UAS, basis ideologinya Islam moderat tapi marketnya kanan.”
Sebelum membalas jawaban Kyai Saleh, smartphone saya tiba-tiba mati. Masih banyak pertanyaan dan hal-hal yang menggantung di kepala. Besok saya akan kembali, mungkin dengan pertanyaan terkait perayaan tahun baru yang pasti kalah heboh debatnya di sosial media. Seperti halnya natal, toh kita pasti bertemu dengan tahun baru, meski dengan pembahasan yang masih berkutat pada halal-haram merayakannya. Hadeh~