Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Peneliti MIUMI.
Jakarta, Lontar.id – Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) mengusulkan agar tidak menggunakan sebutan kafir untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam.
Dianggap mengandung unsur kekerasan teologis, karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tapi ‘Muwathinun’ atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain. Demikian pendapat Pimpinan sidang, Abdul Moqsith Ghazali di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis, 28 Februari 2019, (TEMPO.CO,1/3/2019).
Ijtihad setengah matang di atas harus dikoreksi, sebab jika tidak dipahami dengan baik dan benar makna kafir, bisa saja akan berinplikasi pada kekufuran. Artinya, mengkafirkan sesama muslim tidak ada bedanya dengan memuslimkan orang kafir tanpa memenuhi syarat yang syar’i.
Untuk memahami makna kafir butuh kajian secara komprehensif. Semoga penjelasan di bawah mampu membuat kita bersikap adil dalam memahami makna kafir.
Kata ‘kafir’ adalah kata yang memiliki lebih dari satu makna. Oleh karena itu, kata ‘kafir’ dan direvasinya disebut berkali-kali dalam Alquran dengan makna yang bermacam-macam pula. Kata ‘kafara’ disebut dalam Alquran sebanyk 310 kali, kata ‘kafirun’ sebanyak 132 kali, dan kata ‘kafur’ sebanyak 99 kali.
Frekuensi penyebutan tidak hanya menunjukkan variasi makna tapi juga pentingnya sebuah stigma bernama ‘kafir’. Ini menandakan jika kata tersebut maha-penting dan tak boleh disepelekan dalam memahaminya, baik orang Islam maupun yang disebut kafir oleh Alquran sendiri.
Dari segi bahasa, kata ‘kafir’ ditujukan pada pelaku (subjek) dan ‘kufur’ ditujukan pada perbuatan yang keduanya berakar dari kata, kafara-yakfuru. Dr. Shalih bin fauzan dalam “ Kitab At-Tauhid III, 1420 H” mengurai definisi ‘kufur’ dari segi bahasa dengan arti ‘menutupi’, sedangkan menurut syara’, ‘kufur’ adalah tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya baik dengan mendustakannya atau pun tidak.
Ulama Ahlussunnnah wal Jamaah membagi makna ‘kafir’ ke dalam dua kategori: Kufur I’tiqdi dan Kufur Asghar. Kufur i’tiqadi adalah kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, yang terdiri dari lima kriteria: (1) kufur takzib, menuduh Rasulullah pembohong; (2) kufur istikbar, sombong dan menolak mengikuti ajaran Rasulullah; (3) kufur i’rad, tidak memusuhi namun tidak mau mengikuti ajaran Rasulullah; (4) kufur nifaq, yang berpura-pura ikut, namun pada hakikatnya menolak ajaran Rasulullah.
Adapun Kufur Asghar (kufur ringan) adalah kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kafir jenis ini terjadi karena adanya halangan atau keterbatasan dalam melaksanakan perintah Allah. Contohnya adalah membunuh, bersumpah tidak dengan nama Allah, menghina sesama saudara muslim dengan sebutan ‘kafir’, tidak mampu melaksanakan hukum Allah, dsb. Kufur ringan atau kecil (asghar) termasuk di dalamnya, kufur nikmat dan ingkar kebaikan, sebagai lawan syukur (QS. An-Nahl, [16]:112); (QS. Ibrahim [14]:7. Jadi seorang muslim bisa saja disebut kafir karena menutupi serta mengingkari nikmat Allah SWT.
Kata ‘kafir’ akan lebih mudah dipahami jika disandingkan dengan lawan artinya yaitu ‘iman’, sebagaimana kata ‘jahil’ akan mudah dipahami jika dikaitkan dengan kata ‘alim’, atau sebutan api dan air, siang dan malam, surga dan neraka, dst.
Peran iman dalam hidup dan kehidupan orang Islam adalah sangat penting, dan menjadi landasan utama keislaman seseorang. Imam Al-Gazali menggambarkan peran iman dalam diri seseorang sebagai pengendali hati, pembangkit nurani, dan teman bagi prilaku. Iman seseorang adalah asas segala perbuatannya dan sebaliknya perbuatannya didorong oleh keimanannya.
Orang-orang yang menolak Islam tentu tidak beriman dan pasti ‘kafir’. Maka kafir adalah identitas mereka yang tidak menerima Islam sebagai ajaran agama dan kehidupan, termasuk di dalamnya yang mengingkari rukun iman dan ajaran Islam. Mengimani rukun Islam dan Iman juga harus utuh dan tak boleh parsial, dengan artian tidak bisa hanya beriman kepada Allah lalu ingkar kepada Nabi-Nya, karena jika itu terjadi maka sudah masuk kategori kafir bagi Abu Hasan Al-Asy’ari.
Mengaku beriman namun meyakini bahwa Allah itu terdiri dari tiga unsur juga adalah kafir, apalagi beriman kepada Tuhan yang tidak bernama Allah dijamin kafir seratus persen (kafir muthlaq). (ISLAMIA. VIII, No. 1, 2013).
Salat misalnya, jika seorang muslim tidak salat karena faktor malas (idza qamu ila as-shalati qamu qusala), maka ia dicap sebagai munafiq dan tersesat dari kebenaran, namun jika ia tidak salat karena berpendapat bahwa salat tidak wajib maka sudah termasuk kufur, inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi bahwa pembeda antara orang Islam dan kafir adalah meninggalkan salat, al-farq baynal mu’min wal kafir tarkus shalah.
Demikian makna kafir dalam pandangan alam Islam (islamic worldview). Seorang muslim seharusnya memahami posisi agamanya sekaligus tahu kedudukannya terhadap penganut agama lain. Dan tak kalah pentingnya adalah harus menyadari bahwa orang di luar Islam pun menganggap kita kafir, paling ringan kita dianalogikan ‘domba yang tersesat’.
Suatu ketika, kata Prof Wan Mohd Nor Wan Daud ditanya, apakah Mother Theresa akan masuk neraka padahal hidupnya ia persembahkan untuk agama Kristen dan selalu melakukan kebaikan universal? Maka, Prof Wan menjawab, Itu hak Allah subhanahu wata’ala, tetapi bukan itu masalahnya, apakah ia masuk neraka atau surga.
Masalahnya adalah, Bunda Teresa tidak akan pernah mau masuk dalam surga umat Islam yang disebut “Jannah” sebab, dalam surga, di sana ia akan menemukan Isa ‘alaihissalam sebagai nabi, bukan anak Tuhan, sementara dalam hidupnya, ia meyakini bahwa anak Tuhan yang selama ini ia sembah dan berbakti padanya adalah Yesus, alias Nabi Isa dalam pandangan Islam.
Karena itu, prinsip orang Islam, hanya takut masuk neraka yang disebut “nar” atau “jahannam, dan jenis lainnya” bukan konsep neraka menurut agama dan keyakinan lain. Islam sebagai agama wahyu memiliki perbedaan mendasar terkait konsep surga dan neraka sebagaimana yang diyakini agama budaya atau kepercayaan selain Islam. Wallahu A’lam!
Enrekang, 1 Maret 2019.