Katanya terbentuknya nusantara telah dinubuatkan. Jauh sebelum Soekarno lahir. Ramalan yang paling terkenal berasal dari Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Namun yang paling mencuri perhatian, nubuat dari ulama Aceh, Teungku Syiah Kuala. Salah satu ramalannya kini jatuh tempo tepatnya 1440 Hijriah atau 2019 Masehi. Tentang pemimpin.
Jakarta, Lontar.id –Syekh Abdul Rauf Syiah Kuala dan Sultan Iskandar Muda dikisahkan pernah bertemu dengan Nabi Khidir AS. Mereka mendapat wasiat dari sang Nabi. Pertemuan mereka pun terangkum dalam sebuah hikayat di Kitab Mandiyatul Badiyah.
Kitab ini berupa manuskirp tua, dan lebih dikenal dengan nubuat Syiah Kuala. Ramalan yang menggambarkan masa depan negeri Aceh. Syiah Kuala sendiri telah wafat pada 1693 Masehi. Namun peninggalan Kitab Mandiyatul Badiyah tetap terjaga. Salah satu nubuat Syiah Kuala disebutkan bakal terjadi pada 1440 Hijriah atau 2019 Masehi.
Pada 1440 Hijrah atau 2019 Masehi akan dipimpin oleh pemimpin yang adil dan bijaksana, yang akan membawa kemakmuran negeri serta mengembalikan martabat agama
Nubuat ini merupakan rangkaian prediksi yang dialami Aceh hingga bergabung di wilayah nusantara bernama Indonesia. Waktunya pun bertepatan dengan periode masyarakat kembali harus menentukan siapa pemimpinnya kelak. Tepatnya 17 April 2019.
Isu agama juga menjadi penekanan pada nubuat Syiah Kuala. Memang negeri ini belakangan diuji dengan beragam problem sentimen agama. Hingga puncaknya aksi 212 menjadi sebuah gerakan yang menuntut kedamaian dan keadilan kembali ditegakkan.
Baca Juga: Fakta Tersembunyi di Bumi dari Cerita Baluqiya, Nabi Khidir, dan Admiral Byrd (Bagian-1)
Apakah nubuat Syiah Kuala ini benar-benar merujuk pada perhelatan Pilpres? Lalu siapa Syiah Kuala sebenarnya? Syiah Kuala bernama lengkap Syekh Abdurrauf bin Ali al Fansuri as-Singkili. Salah satu ulama besar Aceh yang lahir di Singkil 1615 Masehi.
Ia merupakan tokoh penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan nusantara. Sebutan gelarnya yang terkenal juga ialah Teungku Syiah Kuala. Syiah Kuala juga yang memperkenalkan tarekat Syattariyah di nusantara. Banyak murid yang berguru, selain dari Aceh juga tersebar di pelbagai nusantara.
Beberapa muridnya yang terkenal dan menjadi ulama besar ialah Syekh Burhanuddin Ulakan dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Makanya banyak pihak yang menolak jika ucapan Syiah Kuala sebagai sebuah ramalan. Dalam dunia spiritual Islam atau sufisme, perkara akan masa depan nusantara lebih lebih tepat disebut, Firasatul Mukmin. Bahasa kontemporernya, penampakan atau penglihatan.
Dalam kitab berhuruf arab kuno yang katanya dari Mandiyatul Badiyah, penglihatan Syiah Kuala dinukilkan seperti ini
1. Bahwa lebih kurang dalam tahun 1260 Hijriah Negeri Aceh akan ditimpa bala bencana.
2. Bahwa dalam tahun 1320 Hijriah Aceh akan dikalahkan oleh kerajaan Ba yang datangnya dari pihak Barat.
3. Bahwa beberapa lama kemudian (lebih kurang) 45 musim kerajaan Ba dikalahkan oleh kerajaan Jim yang datangnya dari pihak matahari terbit.
4. Bahwa lebih kurang empat musim kerajaaan Jim menguasai Negeri Aceh tiba-tiba ia keluar secepat mata karena ia dikalahkan oleh Peuraja ‘Ajam, Peuraja Gajah, Peuraja Cagee, Peuraja Singa dan barang sebagainya.
5. Setelah kerajaan Jim keluar maka negeri Aceh dan negeri di bawah angin lainnya atas usaha isi negeri itu akan berdiri satu kerajaan yang menaklukkan negeri Aceh dan negeri di bawah angin lainnya bernama kerajaan itu berawal dengan huruf Alif dan berakhir dengan huruf Jim.
6. Kerajaan itu akan berdiri sampai kuat, akan tetapi negerinya penuh huru-hara dan banyak pertumpahan darah. Rakyat melakukan banyak kemudlaratan dan kehidupan mereka susah, perdagangan mahal, pakaiaan dan makanan mahal, yang pandai malah tutup mulut, orang besar-besar banyak dusta, semua rakyat berpaling muka pada pembesar-pembesar itu, perampasan terjadi di tiap-tiap simpang, tidak bersenjata dan banyak orang pada masa itu sangat suka pada MERAH dan KUNING dengan menanti yang tidak mengaku Allah dan bermusuh dengan agama yang ada di atas bumi ini.
7. Bahwa pada waktu itu umat Islam banyak tersesat karena kurang ilmu, kurang amal, lemah iman, banyak dosa. Ketika itu banyak umat Islam meninggalkan mazhab yang lama dan membuat mazhab baru dan itulah tanda huru-hara serta kutuk dan bala.
8. Manusia pada waktu itu banyak membuang adat-istiadat sendiri dan memakai adat-istiadat orang lain. Pada masa itulah manusia banyak meninggalkan syariat Nabi Muhammad saw. Pada waktu itulah orang negeri banyak mengikut huruf Enam dan ada juga yang suka kepada huruf garis Fa, Kaf, Jim, atau sama dengan Kaf, Mim, Jim, Nun dan Sin. Mereka itu tidak mengakui adanya Tuhan Rabbal ‘Alamin.
9. Bahwa nanti akan datang pada suatu masa rakyat akan bangkit dengan amarahnya seperti api berbara, bermaksud membela negeri dan bermaksud hendak melepaskan diri dari KUNING dan MERAH, dan sebagainya. Akan tetapi kelakuannya bermacam-macam ragam. Dan pada akhirnya yang mengalahkan KUNING dan MERAH itulah yang menang, yakni golongan yang tidak suka kepada pekerjaan atau perbuatan yang salah serta kokohlah ajaran Islam. Negeri aman, damai, adil, makmur seperti dahulu kala, yakni akan menang orang-orang yang beriman.
10. Pada tahun 1440 Hijriah atau tahun 2019 Masehi akan dipimpin oleh pemimpin yang Adil dan Bijaksana, yang akan membawa kemakmuran negeri serta mengembalikan martabat agama.
Menyulut Kontroversi
Keabsahan kitab Mandiyatul Badiyah, dikritisi oleh peneliti sejarah, Haekal Afifa. Menurut dia, Syiah Kuala tak pernah menulis kitab seperti itu. Dari pertemuannya dengan beberapa penggiat sejarah Aceh, tak ditemukan karya Syiah Kuala bernama Mandiyatul Badiyah.
Akan tetapi, Haekal tak menyangsikan keberadaan lembaran yang menubuatkan 10 ramalan tersebut. Katanya, lembaran manuskrip yang diklaim sebagai bagian kitab Mandiyatul Badiyah dan bertebaran di internet saat ini adalah foto milik kolektor Tarmizi A Hamid.
Dan itu adalah lembaran Kitab Mirratul Thullab Karya Agung Syiah Kuala yang membahas perkara hakim dan kepemimpinan dimasa Sulthanah Tajul Alam.Dijelaskan Haekal pula jika kitab hadis yang mendekati Mandiyatul Badiyah adalah Mawa’izh al Badi’ah.