Lontar.id – Kerusuhan yang terjadi di Papua dilatari oleh aksi rasisme oknum ormas terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Mereka diteriaki dengan kalimat paling purba di zaman perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat. Jika sebuah komunikasi sensitif yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (Sara) terlontar, maka teknologi dapat dengan mudah menjadi corong penyebaran.
Apalagi di Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan suku bangsa terbesar di dunia. Dan isu Sara punya sejarah panjang jadi pemantik perpecahan. Ia hadir bukan karena banyaknya persamaan, tetapi karena dasar persatuan indonesia didasari oleh banyaknya perbedaan.
Keberadaan teknologi memang tak selamanya membuat manusia sebagai pengguna juga ikut berkembang. Ia bagaikan dua sisi mata pisau yang dapat mempersatukan atau malah menceraikan. Pelakunya hanya sebagian orang yang kerap disebut oknum, yang antara sadar atau tidak sadar tindakannya nyaris merusak persatuan mayoritas suku—yang proses terbangunnya sudah hampir seabad.
Simaklah kala ujian itu kembali datang pada Jumat (16/8/2019) atau sehari jelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74. Tepatnya di asrama mahasiswa Papua di Jl. Kalasan, Surabaya. Sebuah informasi yang belum terverifikasi dengan baik lantas direspons berlebihan oieh beberapa ormas. Mereka menggeruduk asrama disertai ucapan bernada rasis. Fakta yang terjadi kemudian adalah penyidik kepolisian tidak menemukan bukti nyata adanya kabar penistaan terhadap simbol negara.
Video penggerudukan lalu begitu cepat menyebar, disertai beberapa informasi dengan bumbù provokasi. Hanya hitungan jam masyarakat Papua merespons dengan kekecewaan. Mereka marah, karena jelas keberagaman budaya Indonesia tak pernah mendidik soal rasis apalagi tentang Sara.
Sedih rasanya jika kita melirik lagi perjuangan para pendahulu kita dalam menyatukan sebuah negara yang warganya punya latar belakang perbedaan sulit bersatu. Kenanglah begitu banyak pengorbanan nyawa, darah, dan air mata yang harus dibayar untuk sebuah persatuan yang mereka cita-citakan untuk Indonesia.
Mari belajar seperti bahasa indonesia. Data vistawide.com bahkan menyebut ada sekitar 742 bahasa daerah di Indonesia dan menempatkannya sebagai salah satu negara dengan bahasa terbanyak di Dunia. Namun, banyaknya bahasa tak mengabaikan fakta bahwa bahasa pemersatu adalah bahasa Indonesia.
Ingatlah, bahwa isu Sara selalu hadir di tengah banyaknya perbedaan. Budaya dan Bahasa berbeda tak mendidik kita menjadi paling superior dan inferior antar satu dengan lainnya. Isu Sara hanya membuat tumbuh suburnya benih perpecahan dan konflik. Tidak ada satupun negara besar lainnya di daratan Eropa sana, memiliki beragam perbedaan yang sangat kompleks seperti di Indonesia. Itulah mengapa Indonesia sangat kaya dengan perbedaan dan jadi kekuatan besar di bawah payung negara.
Namun di sisi lain, perbedaan itu akan menjadi malapetaka besar bila terus diprovokasi, rasisme dan mempertajam perbedaan dengan mengunggulkan budaya sendiri daripada budaya lain. Atau menganggap budaya lain paling purba dan primitif tak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Hal ini mengakibatkan tumbuh suburnya perpecahan dan konflik horizontal karena menyentuh paling privat identitas daerah tertentu. Konflik di Indonesia selain politik, kebanyakan dari konflik mengenai Sara. Sentimen konflik agama dan suku di Indonesia paling cepat berkobar dan merembes ke mana-mana. Bahkan orang yang tak tahu menahu permasalahanpun kebanyakan yang menjadi korbannya. Konflik ini mengakibatkan kerusakan paling parah dan menambah disintegrasi antar suku dan agama.
Apakah situasi seperti ini yang kita inginkan, melihat suku lain sangat inferior dan terbelakang. Apabila tindakan seperti ini terus terawat secara terus menerus tanpa menyadari bahwa kita adalah sama, tunggulah perpecahan akan datang.
Warga Papua yang tersulut emosi dan marah, membakar Gedung DPRD Provinsi, pasar diobrak-abrik, jalan raya di blokade hingga aktivitas kendaraan lumpuh total. Itulah buah dari tindakan rasisme.
Tak ada yang bisa membenarkan tindakan rasisme terhadap suku-suku di Indonesia, atau paling banter suku pedalamaan yang ada di pelosok yang masih tinggal di atas gunung dan rawa-rawa. Mereka tetap harus dihargai identitasnya, sama seperti kita menghargai budaya sendiri. Jadi berhentilah mengejek suku lain bila masih ingin hidup rukun di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika.
Kita tak perlu mengompori warga Papua dengan sebutan yang tidak pantas dan mengindentikan mereka dengan nama-nama hewan yang tak beradab, karena ujung-ujungnya melahirkan perpecahan antar satu sama lain. Siapa yang akan disalahkan bila warga Papua tersulut amarah dan membakar fasilitas umum. Kejadian di Papua dan Papua Barat adalah imbas dari tindakan rasisme oleh ormas dan pihak keamanan saat menyerbu dan menangkap mahasiswa di asrama Papua Surabaya, Jawa Timur.
Tindakan itu diperparah pernyataan seorang oknum pejabat di Malang yang hendak mengusir mahasiswa Papua keluar dari Malang usai kericuhan yang melibatkan Aliansi mahasiswa Papua (AMP), pada 15 Agustus 2019. Seorang pejabat negara tak pantas mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan warga Papua, karena menstigmatisasi mereka sebagai tukang pembuat rusuh di daerahnya. Sehingga dibenarkan mengusir mahasiswa Papua yang belajar di Malang.
Papua, Malang dan daerah lain merupakan satu kesatuan wilayah Indonesia. Siapa saja punya kewenangan datang belajar, mencari pekerjaan atau tinggal disitu selama yang dia inginkan. Tidak boleh ada orang yang merasa terusik apabila pendatang menyerbu kotanya sebagai pelajar dan pekerja. Toh juga sebagian besar masyarakat Jawa mencari penghidupan di wilayah Papua yang kaya akan kandungan alamnya.
Saya merasa khawatir, isu rasisme ini bisa menjadi pintu masuk warga Papua menyuarakan kembali untuk berpisah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena selama ini, isu pemisahan diri sudah berlangsung sejak lama diperjuangkan oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di bumi cenderawasih.
Bahkan Organisasi the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang dipimpin Benny Wenda berjuang mendapatkan hak kemerdekaan melalui referendum. Benny Wenda pada Januari 2019, telah menyerahkan 1.8 juta tandatangan warga Papua melalaui petisi referendum ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Kelompok separatis Papua ini, tinggal menunggu momen yang tepat kapan waktunya meledak. Ataukah meredup berkat jalinan persatuan yang kita jaga bersama.
Editor: Syariat