Ia disapa Mega, perempuan dua puluh sembilan tahun kelahiran Nunukan, Kalimantan Utara, dari keluarga Bugis-Makassar totok. Kedua orang tuanya berasal dari Sidrap-Makassar, meniti karir di ujung utara Indonesia. Di sana pun mayoritas didominasi orang-orang pendatang dari Bugis-Makassar akibat huru-hara DII/TII Kahar Muzakkar.
Hidup dan dibesarkan dengan prinsip Nene’ Mallomo’: Resopa Temmangingngi Namalomo Naletei Pammase Dewata dan Ade Temmakkeana Temmakkeappo.Demikian merupakan fondasi dasar yang mengakar kuat dalam lanskap perjuangan seluruh anak-anak La Pagala dari kerajaan Addatuang Sidenreng. Sebagaimana juga yang dikristalkan oleh pribadi-pribadi luhur disebutkan dalam Lontara Bugis, yaitu: Kajao Laliddo (Bone), Arung Bila (Soppeng), La Megguk (Luwu) dan Puang ri Maggalatung (Wajo), bahwa mereka (orang-orang Bugis) memiliki falsafah hidup “taro ada taro gau” (bersatunya kata dengan perbuatan).
Kearifan lokal ini menjadi pegangan bagi setiap anak cucunya. Budaya mereka tidak mengenal kompromi. Sehingga tidak heran, sikap dan prinsip orang-orang Bugis (begitu juga dengan Makassar) dikenal sangat keras dan tegas. Sebab itu merupakan sumpah: “ooe sipabbanuakku: angingko ri ki rau kaju, soloka na ki batang” (wahai senegeriku, Anda adalah angin dan saya hanyalah sayuran yang lemah). Sehingga ketika saatnya mereka menyebrangi laut, mereka telah dibekali, ketika mendaki gunung mereka terlatih, ketika mengarungi samudra mereka kuat, ketika menjelajahi suatu negeri mereka telah diberi pemahaman dan ilmu.
Hubungan Bima dan Bugis-Makassar
Secara geneaologis, kebudayaan Bugis-Makassar setali mata uang dengan napas dan karakter kebudayaan Mbojo-Bima, kabupaten yang terletak di ujung paling timur provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Suatu masyarakat yang juga terkenal keras dan tegas wataknya dalam menjunjung nilai-nilai yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Sehingga dalam interaksi sosial, antara orang-orang Bugis-Makassar dan Bima cepat sekali menemukan titik persamaan dan kesepahaman, yang mendorong mereka pada saling tolong menolong sebagai saudara dekat. Tidak sulit bagi orang Bugis-Makassar mengenal orang Bima, juga sebaliknya sangat mudah bagi orang Bima untuk akrab.
Kemiripan dan keakraban sosial kebudayaan ini bisa digali dalam sejarah, sebagaimana diungkapkan oleh sejarawan Bima H. Abdullah Tajib (1995), antara ketiga kebudayaan terdapat silsilah yang berasal dari akar moyang yang sama, yaitu: Maharaja Indra Palasar. Maharaja ini menurut Tajib, memiliki dua orang putra, masing-masing Indra Ratu menjadi cikal bakal raja-raja Luwu (Sarwigading), dan Maharaja Tunggak Pandita yang menjadi cikal bakal raja-raja Bima. Silsilah ini dihubungkan kembali oleh raja Bima ke-12 Raja Ma Wa’a Paju Longge sekitar abad XIV setelah sekian abad terpisah oleh sejarah dan politik.
Titik balik ini diawali dengan kebijaksanaan Raja Ma Wa’a Paju Longge yang melepaskan diri dari hidup isolasi dan berorientasi ke Utara, yakni ke Kerajaan Gowa. Selain menghubungkan kembali silsilah kerajaan, kebijakan ini tercatat dalam BO Sangajikai, sebagai upaya mengirim utusan-utusan kerajaan untuk mempelajari cara bercocok tanam, tata pemerintahan dan kebijaksanaan yang sedang berkembang di tanah Bugis dan Makassar. Usaha ini melahirkan Ma Wa’a Bilmana, kelak menjadi Raja dan Manggampo Donggo yang kemudian diangkat menjadi Tureli Nggampo (juru bicara).
Kedua kerajaan terus melakukan kerja sama, terutama ekspedisi dalam rangka mengirimkan bala bantuan dalam melawan Salisi, si empu Asi Peka yang melakukan pemberontakan dengan Raja dan Putra Raja yang sah dalam internal Kerajaan Bima. Puncaknya ketika Sultan Alauddin Muhammad Syah (Manuru Daha), Sultan Bima yang ke V, ini mempersunting puteri Raja Gowa bernama Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi. Dan luar biasanya dalam pernikahan tersebut adalah, Sultan menjadikan Manggarai (Kabupaten di Provinsi NTT), yang merupakan wilayah teritori kekuasaan Kesultanan Bima, sebagai mahar (panaik) pernikahan.
Dari perkawinan inilah, memberi jalan panjang bagi terjadinya asimilasi dan akulturasi kebudayaan antar dua kebudayaan, dari dua kesultanan tersohor dari Timur Nusantara saat itu. Dari tangan sang ratu Karaeng Tana Sanga Mamuncaragi itulah terjadi percampuran dan pertukaran kebudayaan hingga saat ini, seperti tari-tarian, pakaian hadat, lagu-lagu penyambutan, dan lain-lain. Selain itu juga, dari hubungan yang terjalin erat, memberi pengaruh dalam aksara, kosa kata, bahasa, tata pemerintahan, hukum hadat, lembaga hadat, dan perniagaan. Maka bisa dikatakan, bagi Makassar, Bima adalah saudara dekat, sedangkan bagi Bima, Makassar adalah bapak mertua.
Menjiwai dan Memperkenalkan Rimpu
Hubungan saudara dekat dan bapak mertua ini pula, yang menapakkan jalan bagi banyak lelaki Bima saat ini, sehingga dengan cukup mudah dapat menikahi gadis Bugis-Makassar, sebaliknya pun perempuan Bugis-Makassar dengan mudah memikat hati para jejaka dari Dana ma Mbari. Sehingga jalan ini pula lah yang ditempuh oleh Perempuan Bugis yang bernama lengkap Mega Oktaviany FT tadi.
Sebelum menerima pinangan dari lelaki Bima, ia acap kali datang ke bumi yang terkenal dengan Susu Kuda Liar dan Madu ini, dalam rangka riset khusus mengenai etos kerja, lembaga adat, dan juga kunjungan kebudayaan di Istana Kesultanan Bima, dan melakukan kunjungan literasi dengan mengadakan bedah buku, bazar, dan diskusi buku-buku Bima terbitan Genta tempat ia bekerja sebagai editor.
Aktivitasnya yang bersinggungan dengan hal-hal yang “berbau Bima” ini lah, mulai dari riset, kegiatan, dan penerbitan, mendorongnya memahami dan mengetahui segala seluk-beluk kebudayaan Bima. Dan sekaligus membuatnya mencintai dan mendalaminya dikemudian hari hingga kini. Hal ini dikarenakan minatnya yang besar pada budaya dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat. Bagi Mega, “mencintai Bima, sama dengan mencintai Makassar”. Sebab akar-akar kebudayaannya sama, geneaologi sejarahnya sama, dan karakter sosialnya yang sulit dibedakan.
Setelah resmi menikah pada 2017 lalu, dengan segera ia berkunjung kembali ke Bima, selain menjalani masa sterilisasi generasi, juga sebagai jalan mendalami dan menyelami samudera makna kebudayaan Bima secara praktis.
Selama enam bulan bermukim di Bima, hasrat kebudayaannya semakin tinggi untuk menguasai dan memahami segalanya. Memacu insting risetnya dalam membaca praktik-praktik kebudayaan yang dijalankan oleh masyarakat setempat. Dan menemukan banyak sekali objek riset, gagasan-gagasan baru yang nanti dapat diteliti lebih lanjut. Termasuk mengenai tradisi “sedekah tolak bala”, budaya “teka ra ne’e“, dan “mbolo ro dampa“.
Salah satu kebudayaan yang paling menarik perhatiannya adalah budaya Rimpu, yaitu suatu cara berhijab atau menutup aurat bagi perempuan Bima dengan menggunakan bahan kain tenun tradisional Bima. Baginya itu sangat unik, sebab satu-satunya kebudayaan yang mengajarkan tentang hijab bagi masyarakat adat-tradisional jauh sebelum ajaran Islam berpengaruh luas di tanah Bima.
Dengan keunikan dan kekhasannya, membuat Perempuan Bugis ini mempelajari cara menggunakannya, memahami maknanya, mempelajari sejarahnya, dan juga mengetahui filosofi kain tenun tradisional bernama Tembe Nggoli yang dijadikan alat Rimpu. Proses pembuatan tenun dilakukan sangat hati-hati secara manual, oleh tangan-tangan terampil, dengan peralatan dari bambu, perut kayu asam, daun lontar dan lain-lain.
Peralatan-peralan yang digunakan memiliki makna filosofis dan nilai yang berbeda pula. Begitu juga motif-motif bunga yang tergambar pada Tembe Nggoli, memiliki makna dan filosofinya sendiri. Mengenai filosofi rimpu dapat dilihat dalam riset tesis M. Qurais, mahasiswa magister SPs UIN Jakarta, yang berjudul “Rimpu di Tengah Pusaran Modernisme”, diterbit Ruas Media, Yogyakarta, 2019.
Makna dan filosofi-filosofi itulah yang meningkatkan rasa penasaran yang tinggi darinya hingga hari ini, untuk terus mempelajari dan mencintai Rimpu. Dan semakin girang ketika ia bertemu dan mengenal dengan seorang Duta Rimpu yang berasal dari Bima, yang saat ini sedang geliat memperkenalkan rimpu ke berbagai negara. Namanya Yuli H. Ode. Yuli bukan hanya ‘duta’ melainkan “Rimpu yang berjalan”. Sebab, kemanapun ia pergi, rimpu selalu ia kenakan: dalam dan luar negeri, di rumah, di ruang publik, di mana saja Rimpu selalu menemani. Ia sangat menjiwai Rimpu, baik sebagai budaya, maupun sebagai nilai.
Ia saat ini tinggal di Singapura. Setiap melakukan perjalanan dari Indonesia-Singapura, atau sebalik, ia tetap selalu mengenakan rimpu, pun dalam pesawat. Bertemu dengan orang-orang luar, di berbagai negara.
Hobinya melakukan touring ke berbagai tempat bersejarah di dunia, ia tetap mengenakan Rimpu. Ia sama sekali tidak malu, apa lagi risih. Sebaliknya, ia sangat bangga, dan nyaman.
Pada suatu diskusi, ia bertanya, kenapa generasi Bima tidak mau melestarikan budaya yang indah ini? Kenapa mereka mengabaikan warisan dunia yang mempesona itu?
Atas pertanyaan-pertanyaan itu, sayapun tak mampu menjawab. Tapi apa yang dilakukan Forum Kasabua Ade (FOKA) di Jakarta, dengan menyelenggarakan Pawai Rimpu, adalah sebuah usaha untuk memperkenalkan Rimpu kepada dunia. Begitu juga yang dilakukan Yayasan Rimpu yang menyelenggarakan Pemilihan Duta Rimpu dan Sambolo.
Diharapkan kegiatan-kegiatan semacam Pawai Rimpu terus diprogramkan, baik oleh organisasi maupun oleh pemerintah daerah. Harapan yang sama juga kepada Duta Rimpu dan Sambolo yang terpilih nantinya, dapat menjadi “Yuli-Yuli” yang lain, yang menjiwai Rimpu dimana saja dan kapan saja.
Penulis: Alfarisi Thalib (Sekjen DPN AMBI)