Lontar.id – “Gerakan mahasiswa belum mati, idealisme masih terawat dan perjuangan akan selalu berkumandang sampai negeri ini memangkas habis para penjahat berdasi”.
Menyaksikan sendiri gerakan mahasiswa belakangan ini, memang cukup miris, seakan mereka sangat berjarak dengan lingkungan masyarakat. Kemiskinan, isu HAM, gender, trafiking, lingkungan hidup dan pertambangan yang kian merajalela seakan absen dengan amatan mahasiswa.
Mahasiswa disibukkan dengan membuat dan presentasi makalah, berkutat dengan teori dan asyik mengejar IPK 4.0 sebagai representasi keberhasilan menempuh jenjang pendidikan di kampus. Belum lagi mereka disibukkan dengan mengapload insta stroy lucu-lucuan dan masalah romantisme yang tak berkesudahan.
Apalagi berita-berita yang tersebar di media massa, memperlihatkan kepongahan di antara sesama mereka yang saling tawuran antar fakultas.
Jika demikian keadaannya, kepada siapa lagi rakyat mengadu? Paling tidak hal itu jadi penilaian saya belakangan ini saat melihat mahasiswa yang keluar dari eksistensinya.
Namun kenyataan itu berbeda, saya salah menduga bahwa mahasiswa telah lari dari garis perjuangan. Mereka masih ada, berdiri kukuh di hadapan moncong senjata, pentungan dan gas air mata.
Dua hari terakhir ini, demonstrasi besar-besaran terjadi. Tidak saja di Jakarta menggempur kantor DPR/MPR, melainkan dilakukan secara serentak oleh para mahasiswa lintas kampus. Aksi terjadi di daerah-daerah, seperti Surabaya, Solo, Malang, Makassar, Bali, Ambon dan beberapa daerah lainnya.
Massa mahasiswa berduyun-duyun mengangkat bendera perlawanan, melawan kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Di kampus-kampus mulai tersebar pamflet-pamflet, spanduk dan seruan lainnya di media sosial agar meliburkan diri dari aktivitas perkuliahan.
Tak ada aktivitas perkuliahan, melainkan mahasiswa terjun bersama-sama, turun ke jalan-jalan menyuarakan aspirasinya menolak kebijakan pemerintah yang mengesankan revisi UU RKUHP, UU KPK dan UU Agraria.
Sebagian lainnya yang tidak bergabung dengan massa yang terkonsentrasi di Jakarta, mereka menggelar demonstrasi di kantor-kantor pemerintahan dan DPRD masing-masing. Sedangkan beberapa kampus lainnya ada yang berangkat ramai-ramai ke Jakarta.
24 September 2019 di depan Gedung DPR/MPR RI, massa mahasiswa dua kali lipat lebih banyak dari hari sebelumnya. Mereka membawa aspirasi yang sama, menolak regulasi yang baru disahkan parlemen.
Tentu saja, tidak ada kelompok massa sebelumnya yang giat mendatangi DPR dan menyetujui revisi UU. Mereka ini ditengarai sebagai kelompok suruhan ‘bayaran’ yang sengaja diturunkan oleh aktor intelektual di balik layar.
Pada awalnya, mahasiswa menggelar aksi damai, memanjang poster yang tidak biasa saat aksi. Namun pesan yang disampaikan cukup menohok mengkritik DPR.
“Pak polisi aku tidak berdemo tapi cari jodoh #Senayan24september2019.”
Menjelang petang hingga malam, suasana semakin memanas dan berujung bentrok. Kepulan asap gas air mata ditembakan ke arah mahasiswa memecah konsentrasi mereka. Sebagian mahasiswi yang mengenakan baju almamater terlihat lari menyelamatkan diri.
Namun sebagian besar lainnya masih bertahan dengan melengkapi diri dengan penutup wajah dan odol yang dioleskan ke bagian wajah. Lemparan balasan menggunakan batu, botol mineral dan kayu terlihat ke arah aparat keamanan.
Mahasiswa dipukul mundur ke badan sisi kiri dan kanan jalan Gatot Subroto, juga ada yang lari masuk ke jalan tol. Praktis jalan ini lumpuh total, tak ada satupun kendaraan sipil lalu lalang seperti siang hari.
Saya melihat aksi mahasiwa ini, mereka seperti sedang merayakan kekesalan terhadap negara, memperlakukan rakyatnya sendiri semena-mena melalui perangkat negara, polisi, militer dan regulasi.
Apa yang harus dilakukan mahasiwa? Jika mahasiswa kendor dengan sikap represif aparat keamanan, maka perjuangan tersebut akan jadi sia-sia. Maka tak ada jalan lain. Dan mulai terlihat kembali panggilan agar mahasiswa seluruh Indonesia bersatu.
Sebab regulasi ini mengandung sejumlah kontroversi bila disahkan parlemen, karena memberangus kebebasan berdemokrasi. Di revisi RKUHP saja mencantumkan tentang larangan mengkritik presiden dan wakil presiden, negara menciptakan tangan besi ‘anti kritik’, berkuasa secara absolut tanpa bisa dilakukan kritik.
Lalu apa bedanya dengan rezim Orde Baru (Orba) yang mengkerangkeng kebebasan selama 32 tahun. Aktivis mahasiswa dan sipil ditangkap, bahkan Widji Thukul hilang entah kemana rimbanya sampai saat ini. Kita tak ingin lagi negara ini kembali ke masa lalu, sudah cukup banyak korban jiwa yang tertelan hanya untuk berjuang menegakkan demokrasi.
Buah reformasi 1998 adalah mengamanatkan kebebasan sipil untuk berkumpul, berpendapat di muka umum dan dilindungi oleh konstitusi. Namun kenyataannya kini justru ingin menghidupkan kembali bau Orba di masa lalu, usai kita berbulan madu dengan reformasi.
Masihkah kita ingin kembali ke masa Orba melalui pengesahan RKUHP? Tentu jawabannya tidak, saya, anda pastinya akan sepakat mengatakan: Tidak.
Editor: Syariat