Jakarta, Lontar.id – Sebagai Universitas tertua di dunia, pada masa itu universitas tersebut belum memberikan ruang bagi perempuan untuk belajar. Hingga suatu waktu, datang seorang perempuan Indonesia, asal Minang bernama Rahmah El-Yunusiyah di universitas yang bertempat di Cairo tersebut untuk belajar.
Atas jasa-jasanya, Universitas Al-Azhar Mesir memberikan gelar “syaikhah” pada tahun 1957, yang merupakan gelar tertinggi yang diberikan Al-Azhar kepada wanita.
Rahmah El Yunusiyah yang lahir pada 29 Desember 1900 di Nagari Bukit, Surungan, Padang Panjang berkontribusi besar terhadap dibukanya fakultas khusus di Universita Al-Azhar. Sebelum mengepakkan sayapnya di Mesir, Rahmah memang seorang emansipator, yang memperjuangka hak-hak perempuan di daerahnya. Bedang dengan Kartini, Rahmah meelakukan perjuangannya melalui ajaran-ajaran Islam.
Hidup dalam keluarga taat menjalankan nilai-nilai agama Islam. Ayahnya, Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. Istri Yunus, Rafia memiliki hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19.
Masa-masa remaja Rahmah habiskan dengan belajar. Ia mendaftar sebagai siswa dan diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah. Selain menghadiri kelas pada pagi hari di Diniyah School, Rahmah memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, perempuan tidak bebas dalam mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar.
Baca Juga: Penggunaan Istilah Feminis yang Justru Mengobjektifikasi Perempuan
Ia mengamati banyak masalah perempuan terutama dalam perspektif fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan enggan bertanya. Bersama dua temannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah mempeljari fikih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi. Mereka tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jembatan Besi, sebagaimana dicatat oleh Hamka.
Saat bersekolah di Diniyah School, Rahmah bergabung dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS). Ketika duduk di bangku kelas enam, Rahmah merundingkan gagasannya untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri kepada teman-teman perempuannya di PMDS. Ia menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesungguhannya untuk mewujudkan gagasannya ia sampaikan kepada abangnya, “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.”
Kiprah Rahmah sangat kentara pada tahun 1923 saat mendirikan Sekolah agama khusus untuk perempuan. Diniyyah Puteri adalah pilar utama perempuan di Minangkabau untuk menegakkan pengaruhnya dalam jajaran kepemimpinan agama dan upaya menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan modern.
Sistem pendidikan Diniyyah bermula dengan dibentuknya Madrasah Ii Banat (sekolah untuk putri). Selama dua tahun pertama cara belajarnya menggunakan sistem halaqah seperti yang diterapkan di Masjidil Haram, yakni para murid duduk di lantai mengelilingi guru yang menghadap meja kecil. Walaupun tatanan nilai dalam masyarakat Minangkabau tidak menyebutkan larangan perempuan untuk menjadi guru di surau. Namun dalam kenyataannya, hampir keseluruhan pendapat menunjukkan penguatan kepada adanya hak istimewa laki-laki untuk menjadi guru dan ulama.
Hal ini berujung kepada dominasi laki-laki dalam menafsirkan dan mengajarkan hukum-hukum Islam di Minangkabau. Di antaranya pendapat mengatakan ”Tidak pernah dalam sejarah perempuan menjadi guru, membawa-bawa buku, dan mengabaikan tugas-tugasnya di rumah. Apakah buku-buku itu bisa menolong mereka dalam bekerja di dapur ?”
Rahmah menyadari bahwa untuk sampai kepada tujuan itu perempuan harus membangun jaringan dan akses di luar dunia perempuan. Strategi dan kepemimpinan Rahmah memang mengejutkan masyarakat. Seperti dikemukakan Aminuddin Rasyad, bahkan pada awalnya ayahnya tidak menyetujui rencana pendirian perguruan khusus untuk perempuan 14 .
Pendirian perguruan khusus untuk perempuan mengundang perhatian publik karena merupakan hal yang baru dan fatamorgana pada masa itu. Ketika Diniyyah Puteri baru didirikan rata-rata orang Minangkabau menganggapnya sebagai usaha yang sia-sia. Kondisi sosial masyarakat pada waktu itu hanya memberi keuntungan kepada laki-laki, sementara kaum perempuan terpinggir dan tertinggal di belakang.
Sekalipun terpisah dengan sekolah laki-laki, Diniyyah Puteri tetap menjaga hubungan baik dan kerjasama dengan surau-surau yang lain dan para pemimpinnya serta orang-orang yang menggerakkan reformasi, baik dari kalangan surau maupun luar surau. Sebagai suatu lembaga baru usaha ini jelas membutuhkan dukungan banyak orang, kekuatan tambahan, dan dengan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Pada kasus tertentu di Diniyyah Puteri, Rahmah melakukan lobi untuk mendapatkan dukungan dari Zainuddin Labai dan anggota-anggota perkumpulan Diniyyah telah bertindak sebagai pelindung
Masalah demi masalah timbul, di antaranya desakan agar Diniyyah Puteri bergabung ke dalam partai politik. Usaha ini terutama dimajukan oleh Permi (Partai Muslim Indonesia). Dalam menghadapi tekanan partai, Rahmah menyadari bahwa ia harus hati-hati. Partai inilah yang terkuat dan banyak menghimpun pemimpin lokal dan pemimipin perempuan di dalamnya. Semangat untuk berhimpun ke dalam partai tidak hanya di kalangan orang-orang yang aktif dalam politik. Semangat itu juga sedang tumbuh subur pada para guru dan murid-murid perguruan Islam. Lagi pula semangat itu bukan didasarkan untuk mencari kedudukan dalam pemerintahan, melainkan dilandaskan pada kehendak untuk mewujudkan kemerdekaan bagi bangsanya.
Ini membuat Rahmah terjepit dalam dua pilihan yang sangat sulit. Ketika diadakan permusyawaratan besar dari guru-guru agama Islam se-Minangkabau di tahun 1931, maka Rahmah tidak dapat tidak harus hadir dalam rapat tersebut. Namun Ia tidak mengeluarkan pendapat satu kalipun dalam rapat itu. Juga tidak mengirim satu orangpun utusan Diniyyah Puteri untuk duduk dalam Dewan Pengajaran Permi. Tindakan ini tidak disukai dalam pergerakan nasionalisme, sebab semakin banyak elemen yang berhimpun dalam pergerakan itu semakin besar peluang untuk menang, dan semakin tinggi keabsahan gerakan itu untuk memerintah bangsanya kelak.
Muchtar Lufti, pimpinan Permi langsung datang ke perguruan Rahmah untuk meminta anggota perguruan itu bergabung. Di belakang
pimpinan partai ini ada sejumlah tokoh-tokoh Minangkabau terkemuka, laki-laki dan perempuan yang ikut mendesak. Selama proses itu Rahmah membiarkan murid-muridnya tampil ke depan, berdebat dan mengajukan pendapat sendiri tentang hal yang sedang dipermasalahkan. Tindakan ini memberi pesan kepada partai bahwa Rahmah bukanlah pemilik otoritas dalam membuat keputusan atas perguruan yang dipimpinnya, sekalipun ia yang mendirikan.
Jawaban para murid Rahmah dituliskan kembali dalam buku Peringatan Lima Belas Tahun Dinijjah Poetri, ”Dan kami meminta: biarlah perguruan itu terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam-macam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka satu adanya.”
Sampai hari ini Diniyyah Putri telah melahirkan ribuan perempuan yang pintar sekaligus membuktikan jika dalam urusan belajar, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Rahmah telah tiada, tapi perjuangannya selalu hidup di hati perempuan Indonesia.