Ibu Maemunah punya warung kelontong yang mulai beroperasi sejak tahun 2006. Ia menjual sembako serta berbagai kebutuhan sehari-hari seperti sambal terasi khas Indonesia dalam kemasan saset, lem Korea, juga rumput Jepang. Sungguh warungnya go-international sekali.
Sebagai penjaga warung, Bu Maemunah telah menyaksikan begitu banyak hal; mulai dari kenaikan harga rokok, pergeseran minat masyarakat dari teh yang dikotak-kotakkan ke teh yang dibotol-botolkan, sampai tumbuh-kembang warga perumahan. Beliau bahkan melihat anak tetangga tumbuh dari masih pakai seragam putih-merah hingga menjadi pemuda bersuara berat. Dan ketika ada kabar bahwa dia dapat beasiswa ke luar negeri, Ibu Maemunah ikut senang sekaligus bangga. “Pergilah, Nak. Jangan lupa singgah untuk beli Chiki bila kamu kembali nanti,” kenangnya.
Kalau di luar sana ada yang senang merekam dirinya asyik berjoget saat sedang jaga warung, maka beliau memilih jalan intelektual. Ya, dengan bekal pengalaman menjaga warung selama lebih 10 tahun, inilah hasil pengamatan Ibu Maemunah terkait beberapa tipe pelanggan warung yang ternyata sifatnya bisa dicocok-cocokkan dengan keadaan (politik) negeri kita:
1. Teriak Dulu, Pikir Belakangan
Ini adalah tipe pelanggan yang cukup menguji kesabaran, biasanya masih berusia 4-10 tahun. Mereka akan teriak, “Beeliiii!!” dan kita dibiarkan menunggu selagi mereka berpikir snack apa yang enak dikunyah. Lebih menyebalkan lagi kalau sudah nunggu lama tapi mereka malah membatalkan niat jajan dan lari tanpa rasa bersalah. Sakitnya seperti ‘hampir pacaran’ : sudah berharap, eh, mendadak dikecewakan. Bila tidak dididik dengan baik, bisa saja anak-anak ini tumbuh menjadi tokoh yang asal bicara tanpa memikirkan konsekuensinya. Nge-tweet dulu baru mikir. Fitnah dulu, baru minta maaf. Atau lebih parah : merusuh dulu, kabur ke luar negeri kemudian.
2. Persetan Dengan Opini Orang
Bapak-bapak. Tubuhnya tinggi besar. Ketika tangan Bu Maemunah sudah siaga di etalase rokok, ternyata ia justru menunjuk ke tumpukan pembalut wanita. Walau kita bisa beropini bahwa pelanggan ini mungkin saja masuk kelompok ‘Suami Takut Istri’, beliau lebih memilih untuk melihatnya sebagai ‘Pengambil Keputusan Tak Populer Demi Kemaslahatan Orang Banyak’. Bapak ini seharusnya jadi pejabat saja, soalnya tidak banyak pejabat yang berani membuat keputusan tak populer demi kepentingan masyarakat yang rentan meledak.
3. Kakak Otoriter
“Beli permennya dua ribu…”
“Jangan beli permen! Kita beli minuman saja!” ujar si kakak.
Sudah sering terjadi, apa yang diinginkan adik tidak sesuai dengan harapan kakaknya. Si adik pun menuruti kemauan kakak. Saat ia sudah mulai besar, ia akan membantah dan memperjuangkan apa yang ia inginkan; permen, kerupuk, coklat, apapun itu. Namun, ada juga adik yang betah tunduk di bawah sikap otoriter si kakak . Mungkin untuk menghindari konflik. Kalau ia jadi pejabat, bisa jadi ia pasrah ‘disetir’ oleh kelompok tertentu demi menjaga stabilitas bangsa. Atau demi jaminan kedudukan.
4. Oposisi Minta Koalisi
Awalnya mereka bertengkar, gontok-gontokan, lalu ketika salah satunya memilih untuk jajan, eh, yang satunya lagi mendadak minta berteman. Dasar anak-anak. Gengsinya bisa dibeli dengan beberapa teguk monti. Melihat pelanggan bertipe ini, saya jadi ingat seseorang yang bergabung dengan kelompok anti-pemerintah, lalu ketika ia mulai berkasus, diproklamasikannya dukungan penuh pada pemerintah. Oposisi dahulu, minta koalisi kemudian. Hik.
5. Pembeli Bernurani
Sungguh, ini adalah jenis pembeli yang menyejukkan hati. Ketika penjaga warung blunder dalam memberi uang kembalian, pelanggan ini tanpa ragu akan mengembalikan selisihnya. Padahal bisa saja ia kabur sebelum Bu Maemunah sadar telah memberi uang kembali yang berlebih. Mirip-mirip pejabat yang memilih untuk mengembalikan sisa dana operasional ke kas daerah, menurut saya. Soalnya ini masalah kejujuran dari hati nurani.
6. Spirit untuk Irit (dan Sedikit Pelit)
Dalam sehari ia bisa beli dua bungkus rokok, tapi bisa berkali-kali pinjam korek gas juga. Padahal harga korek gas hanya sepersepuluh harga sebungkus rokok. Mungkin ia berprinsip ‘kalau bisa pinjam, kenapa beli?’, semoga tidak kebablasan menjadi ‘kalau bisa pakai uang rakyat, kenapa pakai uang pribadi?’ Amin.
7. Habis Manis, Mereka Berutang
Ini adalah tipe pelanggan yang kurang digemari oleh hampir seluruh pemilik warung kecil. Soalnya pelanggan ini biasa berutang ke warung, namun sering pula belanja di mall-mall atau supermarket ternama. Bagaimana, ya. Ini, kan, warung kecil, modalnya pun tidak banyak. Kalau diutangin terus, tentu Bu Maemunah kesulitan untuk memutar modal agar mendapat profit. Sementara supermarket besar itu modalnya luar biasa, bahkan bisa jadi gaji karyawannya lebih besar dari profit beliau sebulan. Kesannya warung ini didatangi hanya ketika mereka butuh bantuan, namun saat sedang ada uang, ia pun dilupakan. Adek sedih, Bang.
Mungkin beginilah perasaan rakyat kecil yang dirangkul pejabat saat kampanye, namun kembali terpinggirkan saat mereka tengah berkuasa. Sungguh manuver klasik khas pejabat nusantara.
“Jadi penjaga warung itu tidak selalu mudah, Nak,” ujar Bu Maemunah sambil bersandar di kursi plastik tua berwarna hijau, “Sepertinya Ibu ini sudah banyak berdosa pada para pelanggan,”
Ketika saya bertanya tentang maksud pernyataan Bu Maemunah tadi, beliau hanya tersenyum.
“Kalau kamu ada waktu luang nanti, ke sini lagi, ya. Ibu mau pengakuan dosa,”