Jika nama Rahma El Yunusyyiah kerap diperbincangkan sebagai pejuang perempuan di Sumatera. Tak elok jika tak mengenali Siti Manggopoh.
Jakarta, Lontar.id – Siti Manggopoh atau Mande Siti pernah berjuang mati-matian melawan Belanda sewaktu hidupnya. Ia menjadi seorang yang tak ingin takluk di tangan kolonial. Mande Siti juga tak diam ketika masyarakat ditindas.
Perlu diketahui, Mande Siti lahir di Nagari Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1885, ada juga yang menyebut pada 15 Juni 1881, juga Mei 1880.
Soal kolonial, awal mula kemarahan Mande Siti yang dijuluki Singa Betina ini, sewaktu ia tahu Peraturan Pajak di tanah Minangkabau pada awal Maret 1908, diganti menjadi Peraturan Tanam Paksa terhadap rakyat.
Mande Siti tersulut kesumat marah sebab merasa harga dirinya diinjak-injak, mengingat peraturan yang disebut dengan belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (selanjutnya disebut belasting) ini mengenakan pajak tanah yang dimiliki secara turun-temurun. Dengan kata lain, belasting ini bertentangan dengan adat Minangkabau.
Alhasil, pemberontakan rakyat yang dimulai dari Kamang hingga akhirnya merambah ke Manggopoh, membuat Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang.
Mereka adalah Rasyid (suami Siti), Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.
Perang Manggopoh sendiri meletus pada 16 Juni 1908 yang bersamaan dengan Perang Kamang yang dikenal juga dengan Perang Belasting.
Baca juga: Sejarah Pasukan Bainea dan Persamaannya dengan Inong Balee
Setidaknya, tercatat dalam sejarah, kalau Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, titik inilah perjuangan dimulai.
Dalam buku Perempuan-perempuan Pengukir Sejarah, Mulyono Atmosiswartoputra, Siti disebut menjadikan dirinya sebagai umpan, dan menyusup ke markas Belanda yang saat itu bikin perjamuan.
Setelah berhasil menyusup, Siti memadamkan lampu dan memberi tanda kepada para pejuang yang sudah siaga di luar. Mereka pun langsung menyerbu sesudah diperintah dari dalam.
Pertarungan para pejuang dan Belanda pun terjadi dalam kegelapan. Siti membunuh puluhan tentara Belanda. Sementara pejuang lain juga.
Dalam serangan gelap itu, para pejuang, yang tidak satupun gugur, berhasil membunuh 53 dari 55 serdadu Belanda. Dua yang selamat berhasil kabur ke Lubuk Basung walaupun dengan luka serius di sekujur tubuhnya.
Perang kedua terjadi saat dua antek Belanda yang berhasil kabur itu, meminta bantuan tentara dari Bukittinggi dan Padang Pariaman. Insiden itu terjadi pada 16 Juni 1908. Mereka sengaja memorak-porandakan Manggopoh untuk balas dendam. Tak sedikit warga yang menjadi korban kemurkaannya.
Peperangan ini menewaskan seluruh pejuang yang melawan pada saat itu. Ada yang mengatakan pejuang saat itu hanya 5 orang (Tuanku Cik Padang, Tabat, Sidi Marah Khalik, Muhammad, dan Kana), namun ada juga yang mengatakan 3 orang (Tuanku Cik Padang, Kana, dan Unik).
Siti yang mendengar daerahnya diobrak-abrik Belanda, akhirnya mengambil keputusan untuk tetap ikut berperang. Padahal, ia punya anak, yang terpaksa harus ditinggal. Namanya Delima.
Baca juga: Menyebarkan Islam Lewat Tarian Api
Setelah melakukan penyerangan, Siti Manggopoh pulang ke rumah dan membawa kabur Delima ke hutan. Di dalam hutan, Siti Manggopoh merawat anaknya. Namun malang, tentara Belanda kemudian menangkapnya dan membawanya ke Lubuk Basung, Agam.
Siti saat itu ditangkap lalu dipenjarakan secara terpisah. Adapun suaminya Rasyid, dibuang ke Manado. Sedangkan Siti dibuang ke Padang Mariaman lalu ke Padang.
Saat ditangkap, di Lubuk Basung, Siti Manggopoh dipenjara selama 14 bulan, lalu dibawa ke penjara di Pariaman. Di sini, Siti mendekam selama 16 bulan.
Ia kemudian dipindahkan ke penjara Kota Padang selama 12 bulan, dan akhirnya dibebaskan oleh Belanda dengan alasan anaknya masih kecil.