Ada perasaan suka cita. Doa-doa dipanjatkan. Harapan dan mimpi-mimpi dibentangkan. Keberkahan dan kelapangan niat juga dititipkan melalui sebuah amplop merah. Angpau namanya. Sebuah tradisi tionghoa dalam menyambut tahun baru imlek 2570, bertepatan pada, Selasa, 5 Februari 2019.
Lontar.id – Hujan masih saja terus menyapa. Kali ini ada romansa yang tercipta, dari guyurannya di bulan Februari. Oleh masyarakat tionghoa air yang tercurah di langit kali ini akan memberi berkah. Setidaknya dalam menanti datangnya tahun babi tanah, meninggalkan tahun anjing tanah.
Kelenteng di kawasan pecinan bersolek. Orang datang berbondong-bondong. Tanpa sekat. Mereka adalah masyarakat tionghoa, yang bersiap menanti detik-detik pergantian tahun dalam kalender Cina.
Tahun baru imlek, sangat penting bagi mereka. Ini bukan sekadar perayaan suka cita semata. Ada makna yang mendalam di baliknya. Tahun baru imlek juga jadi moment untuk memperkuat silaturahmi. Maka tak heran, meski hujan deras mengguyur, tak menghalangi langkah orang tionghoa ke kelenteng.
Klenteng “Ma Tjo Poh” Ibu Agung Bahari yang terletak di pusat kota Makassar, tepatnya di sebelah barat poros Jalan Sulawesi No. 41, sudut selatan persimpangan jalan Serui, menjadi salah satu klenteng yang sibuk sore itu. Orang-orang datang untuk sembahyang dan berdoa pada sang leluhur.
Setiap tahun, jelang imlek, etnis tionghoa memang selalu menyambut dengan penuh suka cita. Harapan menjadi pribadi yang lebih baik. Doa sebagai bentuk syukur juga dititipkan dalam sebuah amplop merah.
Amplop merah yang identik dengan tradisi perayaan tahun baru Cina ini memiliki pelafalan yang berbeda-beda. Dalam bahasa mandarin, amplop merah ini disebut dengan istilah hóngbao, masyarakat Kanton menyebut lai see, sedangkan dialek Hokkien masyarakat Taiwan melafalkannya dengan angpau.
Angpau atau Hong Bao sendiri terdiri dari dua suku kata, ‘Hong’ yang berarti merah dan ‘Bao’ bermakna membungkus. Bila diartikan menjadi bungkusan merah, secara makna bisa disebut sebagai pemberian.
Dimulai sejak adanya kebijakan menghormati pluralisme yang diberlakukan pada era kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernak-pernik imlek, termasuk angpau ini sangat mudah sekali ditemui.
Ketua Generasi Muda Konghucu, Erfan Sutono, yang saya temui di Klenteng Agung Bahari begitu antusias saat menceritakan tentang filosofi angpau dalam tradisi imlek. Dalam balutan baju tradisional Cina, Changshan, tokoh pemuda Konghucu ini mengatakan, angpau ini sama dengan apa yang disebut sedekah dalam agama Islam.”Dengan berbagi angpau berarti kita telah berbagi rezeki kepada yang berhak mendapatkan,” ungkapnya.
Jika dalam Islam ada pembagian THR menjelang Hari Raya Idul Fitri, atau tradisi memberi uang sebagai hadiah kepada anak-anak setiap tahun, yang disebut tradisi “Otoshidama” dalam budaya Jepang, maka angpau dalam tradisi imlek adalah hal yang serupa.
Bedanya angpau bagi etnis tionghoa harus diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Biasanya, angpau diberikan oleh kakek, nenek, ayah, ibu, paman, tante, dan seluruh kerabat yang dituakan kepada anak, cucu, dan keponakan.
Uniknya lagi, bagi mereka yang sudah menikah harus memberikan angpau kepada kerabatnya yang belum menikah. “Hal ini menunjukkan kedewasaan dan kemandirian bagi yang sudah menikah,” jelas Erfan, sapaan akrabnya.
Imlek sebagai bukti bakti kepada leluhur, momen refleksi diri selama setahun, serta ekspresi cinta dan peduli kepada sesama. Angpau, si amplop merah, menjadi sesuatu yang mewakilkan segala doa.
Angpau bukan sekedar pemberian, ia memiliki makna mendalam. Warna merahnya berarti keberuntungan, kemakmuran, umur panjang, dan kebahagiaan. Merah juga dipercaya bisa menjauhkan penerimanya dari energi negatif.
Gurat wajah Erfan tampak sumringah serta semangatnya membuncah, ketika mengatakan, bahwa inti dari angpau terletak pada bungkusannya. Ada banyak doa yang tak terapal oleh lisan. Puncak dari romantisme.
Angpau bukan tentang nominal uang yang ada di dalamnya, tetapi apa yang tertulis pada amplop merahnya.”Ada banya doa seperti, Gong Xi Fa Chai berarti selamat sejahtera, Wan Shi Ru Yi, semoga sukses, dan Shen Ti Jian Kang, semoga memiliki kesehatan yang baik,” tutup pria kelahiran Ujung Pandang, 11 April 1989 ini.
Penulis: Miftah Aulia