Lontar.id– Nusantara, selain memiliki kekayaan alam juga memiliki kekayaan tradisi, agama, dan bahasa. Salah satu cara membuktikannya adalah dengan menelisik kehidupan salah satu kelompok agama di Sulawesi Selatan bernama An-Nadzir yang memiliki kehidupan tidak “biasa” dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal itu dapat dilihat melalui ritual keagamaan, pekerjaan, sistem sosial dan perekonomian para pegikutnya.
Jamaah an-Nadzir merupakan sebuah kelompok Islam minoritas yang anggotanya berasal dari berbagai daerah dan latar belakang. Komunitas ini memilih menjalani hidup sebagai sebuah komunitas mandiri di tempat yang cukup terpencil. Salah satu komunitas Jamaah an-Nadzir saat ini tinggal di tepi danau Mawang, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan, sekitar 20 kilometer dari kota Makassar. Selain di Kabupaten Gowa, komunitas an-Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bogor, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, dan sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.
Menurut Imran, salah satu peneliti kelompok An-Nadzir mengungkapkan bahwa jamaah An-Nadzir di Indonesia didirikan oleh Kyai Syamsuri Abdul Madjid pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk Sulawesi Selatan, khususnya di kota Makassar dan Luwu. Kyai Syamsuri Abdul Madjid oleh jamaah An-Nadzir kerap dikaitkan sebagai sosok titisan Kahar Muzakkar, tokoh gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan. Di awal keberadaannya, Jamaah An-Nadzir ini sempat menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, bahkan kepolisian dan intelejen karena dicurigai melakukan praktik terorisme ataupun menyebarkan ajaran “sesat”. Kecurigaan terhadap kelompok ini disebabkan karena praktik ibadah dan cara mereka merepresentasikan diri berbeda dengan kebanyakan umat Islam di Indonesia. Misalnya, dalam hal penentuan hari raya dan waktu shalat.
Selama ini, kelompok An-Nadzir selalu merayakan hari lebaran lebih awal dari jadwal yang dikeluarkan pemerintah. Tahun ini misalnya, mereka melaksanakalan shalat id pada tanggal 03 Juni 2019. Perbedaan tersebut dikarenakan oleh adanya perbedaan metode dan konsep dalam menentukan awal bulan Kamariyah. Selain itu, salat Id dilakukan setelah perhitungan memantau bulan dan tanda-tanda alam. Menurut mereka, penetapan 1 Syawal itu dilakukan dengan melihat bulan purnama pada penanggalan syamsiah 14, 15 dan 16, lalu menghitung mundur sebelum tiga hari terakhir bulan Sya’ban. Mereka juga mengamati tanda-tanda alam lainnya seperti puncak air laut pasang atau arah angin bertiup.
Kelompok An-Nadzir juga berbeda dalam penentuan awal waktu salat. Mereka mempunyai lima macam salat wajib dengan tiga waktu pelaksanaan. Pertama, waktu pelaksanaan Salat Magrib dilaksanakan ketika malam sudah datang yaitu ketika matahari terbenam. Kedua, waktu pelaksanaan Salat Isya dan Salat Subuh. Kedua salat ini dilaksanakan di waktu berdekatan dengan waktu Subuh. Ketiga, waktu pelaksanaan Salat Zuhur dan Salat Asar. Kedua salat ini dilaksanakan tepatnya pada waktu yang berdekatan dengan waktu Salat Asar yang kita ketahui selama ini.
Dari segi penampilan, mereka juga mekonstruksi pakaian yang mengafirmasi keyakinan mereka untuk terus mengikuti sunnah nabi dengan menggunakan pakaian yang dianggap serupa pada masa kenabian. Jamaah laki-laki mengenakan jubah dan sorban berwarna hitam yang dipadukan dengan ikatan kepala berwarna putih, rambut pirang kekuning-kuningan, dengan panjang sebatas bahu. Sedangkan bagi kaum wanita, mereka mengenakan jubah hitam serta memakai cadar (kain penutup wajah).