Lontar.id – Menjelang lebaran, mudik merupakan peristiwa penting dan harus dilakukan hampir seluruh masyarakat Indonesia yang merantau dan beragama Islam, bahkan bagi non-muslim, peristiwa mudik juga dimanfaatkan untuk liburan.
Mudik bagi masyarakat Indonesia menjadi ajang bersilaturahmi dengan keluarga, suwon kepada orang tua, mengunjungi makam leluhur, hingga menjadi momen berbagi kepada saudara di kampung sebagai pembuktian atas kesuksesan para pemudik di kota-kota.
Menelisik awal mula mudik di Indonesia, tidak ditemukan kapan tepatnya orang-orang nusantara melakukan mudik. Dalam beberapa catatan, mudik pertama kali dilakukan sejak masa kerajaan Majapahit, yakni sekitar tahun 1293 M. Versi lain menyebutkan jika sejarah mudik berasal dari tradisi kerajaan Islam di Mataram.
Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Pekerjaan bertani membuat penduduk Majapahit bisa berkelana membuka lahan baru dimana saja, untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Mereka yang pergi berkelana akhirnya memiliki momentum untuk pulang ke tempat asalnya. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Peristiwa mudik tersebut menjadi sakral sebab dianggap mampu melancarkan rezeki saat pergi kembali ke perantauan.
Mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Sementara itu, mereka berbalik menghadap Raja pada Hari Raya Idul Fitri
Adapun dalam segi istilah, terdapat dua versi. Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. Dalam perkembangannya, mudik yang mengalami transformasi, pengertian mudik lalu dikaitkan dengan kata ‘udik’ yang berasal dari bahasa Jakarta bermakna kampung yang berarti pulang kampung atau desa.
Pengistilahan mudik dari kata udik itu mulai muncul pada tahun 1970-an sejak Jakarta sebagai Ibu Kota Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman.
Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota.
Para pekerja di kota-kota besar mendapatkan momentum pulang kampung yakni saat lebaran sebab pada saat itu tempat kerja memberikan libur panjang. Dari kelas buruh misalnya, hal itu terkait dengan tuntutan pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) dari perusahaan untuk pekerja yang melakukan pengeluaran lebih menjelang lebaran karena harus pulang kampung, membeli baju baru, dll. Momentum itu kemudia meluas dan terus berkembang menjadi sebuah fenomena.